Cerita ini adalah berupa penelusuran dari ingatan saya sewaktu diminta menuliskan cerita daerah sewaktu SMP, wawancara terhadap bapak, ibu, kakek, nenek, simbah buyut saya, dan para tetangga. Tulisan ini sepenuhnya belun teruji kebenarannya karena merupakan penggabungan dari hasil wawancara dari narasumber yang hidup berbeda generasi dan di-gothak-gathuk-kan dengan sejarah Indonesia modern yang saya pelajari di bangku sekolah.

Selamat menikmti.

*

Desa Ngleri adalah salah satu desa yang ada di kecamatan Playen, Gunungkidul. Menurut 'Kecamatan Playen Dalam Angka 2013' yang diterbitkan oleh BPS Gunungkidul (dapat di lihat di link berikut) memiliki luas 986,42 m persegi dan dihuni oleh 754 KK atau sekitar 2576 jiwa. Batas-batas wilayahnya meliputi, sebelah utara dan barat berbatasan dengan kecamatan Patuk yang dipisahkan oleh Kali Oya, sebelah timur dengan desa Banaran, sebelah selatan dengan desa Getas.



*

Dahulu kala, di saat Indonesia masih belum merdeka dan masih terdiri dari kerajaan-kerajaan nusantara, ada sebuah perkampungan kecil di perbatasan wilayah Kasultanan Mataram Islam Lama yang berpusat di Kota Gedhe dan Kerajaan Majapahit. Perkampungan tersebut adalaha sebuah kampung petani yang berada di tengah alas (baca : hutan yang belum terjamah). Rumah di kampung itu kecil-kecil, dengan persawahan yang sangat luas. Penduduknya hidup sederhana, dan berkecukupan lewat bercocok tanam di sawah mereka.

Suatu hari, datang lah serombongan orang berpakaian mencolok melewati daerah perkampungan petani tersebut. Konon katanya, serombongan orang itu adalah sekelompok prajurit yang sedang melarikan diri dari musuh. Yang kemudian saya duga, dari sinilah nama Playen berasal. Playen berasal dari kata playon, playu, mlayu, yang artinya berlari melarikan diri. Ah, soal asal muasal Playen kapan-kapan saya akan ceritakan lagi. Tapi kali ini saya mau cerita tentang desa saya. Kembali ke cerita.

Serombongan pelarian yang entah datangnya dari mana - saya duga, mereka adalah pelarian dari sisa-sisa kerajaan Majapahit, karena cerita ini mirip dengan cerita mengenai pelarian keturunan Majapahit yang melarikan diri ke Gunungkidul. Teman-teman ada baiknya membaca tulisan Bapak Deddy (link) agar dapat mengerti apa kaitan yang saya maksud di sini-, itu sedang mencari tempat untuk berlindung. Sebenarnya salah seorang dari rombongan tersebut mengalami luka yang cukup parah. Oleh penduduk setempat, rombongan tersebut diminta untuk pergi ke sebuah mata air yang ada di sebelah barat wilayah tersebut.

Di wilayah barat daerah tersebut, tepatnya di dekat Kali Oya - kali terbesar yang ada di Gunungkidul -, terdapat sebuah mata air. Mata ait tersebut merupakan hulu dari sebuah sungai kecil yang kemudian menyatu dengan Kali Oya. Penduduk sekitar menamakan sungai kecil itu sebagai Kali Loro. Kali yang berarti sungai dan Loro yang berarti sakit. Penduduk setempat percaya, barang siapa orang yang minum air dari sumber mata air tersebut, maka semua penyakitnya akan disembuhkan. Sumber mata air itu, sesungguhnya dijaga oleh seorang Nyai -saya lupa namanya siapa-. Nyai tersebut yang menjaga mata air tersebut agar tidak sembarangan orang dapat mengambilnya.

Singkat kata, rombongan itu akhirnya mendatangi mata air tersebut dan dicegat oleh si Nyai. si Nyai menanyakan maksud kedatangan orang-orang yang belum pernah ia kenal itu. Rombongan itu pun mengutarakan maksudnya untuk datang menyembuhkan salah satu diantaranya karena diberitahu oleh penduduk setempat mengenai Kali Loro. Si Nyai pun akhirnya menyanggupi untuk mengijinkan rombongan itu untuk menyembuhkan anggota mereka yang terluka dan memerbolehkan anggota lain untuk meminum air dari aliran mata air yang ia jaga.

Anggota yang terluka itu pun sembuh setelah meminum air dari mata air itu, begitu pula  anggota lain yang merasa hilang rasa lelah akibat perjalanan berhari-hari yang mereka tempuh. Karena merasa berhutang kepadang si Nyai, rombongan itu menawarkan untuk membayar si Nyai dengan uang emas. Tetapi si Nyai menolak, ia memberikan syarat. Sebelum rombongan itu pergi, mereka harus membuat hajatan yang ramai dan mengundangnya. Rombongan itu menyanggupinya dan kembali ke wilayah perkampungan.

Di kampung itu, rombongan pelarian itu membeli semua hasil panen padi yang ada. Dan dengan padi itu mereka membuat hajatan yang luar biasa mewahnya. Semua penduduk kampung itu diundang, beserta si Nyai. Konon katanya, di hajatan yang sungguh mewah dan baru sekali itu dilakukan di kampung tersebut, padi yang dimasak menghasilkan nasi yang begitu banyak. Nasi-nasi itu diletakkan di atas daun-daun pisang yang sangat panjang, cukup banyak untuk setiap orang yang datang.

Dari sinilah nama Ngleri berasal. Nasi yang diletakkan di atas daun-daun pisang mirip dengan apa yang orang Jawa lakukan untuk mendinginkan nasi yang baru masak. Dalam bahasa Jawa disebut, ngeler sega, ngeler - meletakkan/meratakan nasi di atas tempat yang lebar agar cepat dingin. Karena dilakukan berulang-ulang, maka ngeler mendapat imbuhan -i, menjadi ngeleri, ngleri. NGLERI.

Setelah hajatan itu berakhir, ada yang mengatakan bahwa rombongan itu pun pamit pergi untuk meneruskan pelarian mereka. Ada juga yang bilang bahwa si Nyai kemudian menikah dengan anggota yang terluka dan sembuh, dan mereka menetap di wilayah Kali Loro sementara rombongan lainnya meneruskan perjalanan.



[ ]

No comments:

Post a Comment