Ada kepala anjing di atas batu besar.

*

Saya tak tahu apa yang membawa saya sampai ke tempat ini, ya, Atambua. Tak pernah terpikirkan dalam kepala saya saya akan sampai di perbatasan Indonesia, tinggal di sana selama 2 bulan bersama orang-orang yang baru saya kenal ketika saya sampai ke tempat ini, di lingkungan yang asing bersama orang-orang dari suku dan kebudayaan yang berbeda di Jawa. Ah tapi sudahlah, cerita ini akan menjadi sangat panjang mana kala saya menuliskan mengenai perjalanan saya dan ‘tim yang – selama ini saya pikir – agak nggak jelas’ hingga akhirnya disetujui oleh UGM untuk berangkat ke Atambua Selatan pada bulan Juli 2014.

(bandara eltani, kupang)


*

Saya rasa, tempat KKN saya ini tak jauh beda kondisi fisiknya dengan tanah kelahiran saya, Gunungkidul. Desa Fatukbot, Kecamatan Atambua Selatan, Kabupaten Belu ini memang kering seperti daratan NTT lainnya. Seperti halnya sebagian besar wilayah di Gunungkidul. Bedanya, ditempat ini banyak sekali lahan-lahan kosong yang benar-benar tak ditanami dan menjadi savanna kecil di lingkungan kampung. Ah, iya, di belakang pondokan saya juga ada savanna kecil, sawah tadah hujan yang ketika musim kering seperti bulan-bulan ini, tidak dipakai dan dibiarkan ditumbuhi rumput liar. Jikalau pagi datang dan ada sedikit kabut –karena di tempat saya ini, meski siang hari panas, tetapi kalau malam dingin sekali- dan cahaya matahari pagi yang menerobos lewat celah ranting pohon, membuat suasana yang melankolis. Para petani yang membiarkan sapi, babi, dan ternaknya menggembalkan dirinya sendiri di savanna kecil itu. Syahdu sekali.

(savana kecil di belakang pondokan)

Di tempat saya KKN ini, air susah sekali. Ibarat derah pesisir selatan di Gunungkidul. Setiap hari, saya harus menimba air di sumur, entah berapa puluh kali. Untuk mandi, butuh 2 ember hitam ukuran sedang. Satu ember kira-kira 3-4 kali timba. Belum lagi untuk buang air kecil, atau buang air besar. Untuk cuci baju, kami berjalan 200 meter turun ke sungai yang alirannya hanya seperdelapan dari lebar sungai yang sesungguhnya ketika musim penghujam. Untuk memasak, air juga diambil dari sungai, ada sebuah mata air kecil yang alirannya jernih sekali. Kami di sini terbiasa hidup keras, karena bantuan dari pemerintah yang sangat minim jika dibandingkan dengan kelompok KKN tetangga kami yang beda kecamatan. Ya, tapi masih saja ada yang manja dan minta dibantuin mengambil air untuk keperluannya ke kamar mandi.

(sungai tempat mandi dan mencuci)

Ah tapi, di tempat ini, bersama orang-orang yang di minggu pertama keluar sifat aselinya yang ini gokil, yang itu jaim, yang di sana asyik, yang di sini kocak, si anu yang nyebelin dan si anu ini itu, seperti bertemu keluarga dadakan. Seperti mie sedap cup, semua serba instant dekatnya, instant akrabnya, instant cinloknya, eh, ups. Meski, saya tahu dari cerita teman-teman seangkatan yang sudah KKN kemarin-kemarin, kebersamaan dan kedekatan ini mungkin hanya akan bertahan selama 50 hari masa KKN saja. Kami di sini yang jauh dari keluarga, secara otomatis mencari orang terdekat yang senasib dan mengangkatkan diri menjadi saudara.

*

Malam di Fatukbot terasa dingin. Dinginnya sampai ketika saya menghembuskan napas, uap putih muncul di depan mata. Hari itu ketika kami tiba di pondokan, malamnya purnama. Dan bulan yang bulat bersinar sangat cantik di ufuk timur. Bergantung rendah, menebarkan kesyahduan diantara kami yang belum saling mengenal ini, di perantauan ini, di lingkungan baru ini, di tempat kami akan menghabiskan 50 hari bersama hingga tiba waktunya penarikan kembali ke Jogjakarta.

Sebenarnya, ada yang lebih asyik lagi dan mungkin tak terlupakan dari KKN ini. Sumur satu-satunya milik mama pondokan, tiba-tiba mengering di hari kedua kami tinggal di lokasi. Otomatis semua hal dan kegiatan berbau air harus diminimalisir, termasuk untuk buang air dan mandi. Air menjadi begitu berharga di sini. Tapi, ada mama baik hari di depan rumah seberang jalan yang menawari kami mandi di sumurnya – yang konon kata penduduk di sini tidak pernah kering meski di musim kering sekalipun -. Suatu malam saya dan geng mandi dadakan, malam itu sekitar pukul 8 jalan mandi di sumur mama depan rumah. Saat itu terperanjatlan saya menyaksikan sabuk bintang yang membentang daru utara ke selatan begitu terlihat jelas seperti ketika saya mendaki gunung. Bahkan yang satu ini di tempat ini terlihat begitu spektakuler. Yang lebih asyiknya lagi adalah, menimba air untuk mandi di sumur yang remang-remang cahaya lampu dari rumah seberang sambil menikmati betapa indahnya malam yang Tuhan berikan kepada orang-ornag yang ada di sini. Saya dapat dengan jelas melihat rasi salib selatan dan rasi skorpio diantara entah jutaan bintang lain dan awan bima sakti yang luar biasa indahnya.

Yang lebih dahsyatnya lagi adalah, suatu ketika saya dan teman-teman saya mandi –baca:cuci muka gosok gigi- di sumur yang tak pernah kering ini, mendadak mati lampu. Yang belum selesai cuci muka gelagapan mencari air dan yang sudah selesai rebut berpegangan takut ilang atau ada ‘serangan dadakan’. Ketika jalan pulang, semakin lah itu kentara sabuk bintang yang sejajar dengan jalan di depan rumah pondokan kami, membentang utara selatan, jutaan bintang diantara kabut bima sakti. Ah, saya pamer satu saja foto dari pemandangan yang tiap hari saya lihat.

(bimasakti di atas pondokan. serasa berlayar di angkasa malam)


*

Ini baru sebagian saja cerita mengasyikan dari KKN ini. Lain kali, saya akan ceritakan lagi.

[ ]


No comments:

Post a Comment