Di awal minggu lalu saya tak sengaja nyasar di markas Dorx yang lama dan bertemu dosen saya. Saya diminta untuk ikut serta dalam sebuah acara berjudul [proto:type]Y2014 yang diadakan oleh HoFN bekerjasama dengan Cellsbutton (itu lho yang outletnya ada di Malioboro mall).



Saya nggak tahu ya, apa acara ini tahunan atau enggak, yang pasti tahu ini diadakan dan acaranya bermacam-macam dan menarik. Mulai dari seminar, workshop, touring, dll. Karena rangkaian acaranya panjang banget dan saya yang sibuk, akhirnya saya memutuskan saja untuk daftar workshop yang akan diadakan di daerah Tembi Bantul. Saya promote juga di facebook, seorang dosen muda juga ikut promote, pengajaran kampus juga promote, KMTA Wiswakharman juga udah ikut promote, tapi entah lah saya tak mengerti mengapa pas saya datang di workshop itu tak ada anak arsi UGM satu pun yang ikut kecuali saya. Kebetulan, temen sekantor juga ikut, nggak tau deh ikut-ikutan saya atau memang pengen ikut, hahahahaha. Padahal acaranya ini gratis dan jarang kan ke Tembi kalau bukan karena ada acara-acara macam ini.

Sebenernya, saya tahu sih, ini acara pasti hipster banget. Soalnya panitianya itu adalah anak HoNF (House of Natural Fiber FabLab) yang notabene orang-orang gaul yang super hipster gitu. Tapi memang di lapangan hipster banget lah.

*

Jadi sebenernya harusnya workshop dimulai hari sabtu, dan malamnya nginep di Omah Tembi, dilanjutkan dengan acara workshop lagi di hari minggu. Tapi, berhubung saya telat regristrasi ulang saya jadi nggak bisa ikut nginep. Akhirnya, minggu pagi itu saya naik motor boncengan bareng temen saya untuk ke Tembi yang ada di Jalan Parangtritis Bantul.

Sampai di sana? Sumpah, super nggak jelas. Saya kira ya, ini poster udah kemana-mana sampai di gang deket kosan saya, pasti pesertanya banyak dan bule-bule, eh, ternyata, ibu-ibu yang jadi tutor keramik malah sibuk bikin keramik sendirian. Aneh banget lah itu pokoknya. Tapi lumayan sih, jadi satu anak semacam bisa bareng satu ibu-ibu yang jago bikin keramik.



(siska, teman saya lagi nyobain bikin asbak)


(yang bikin udah pro, form awalnya aja udah bagus)

Nah, awalnya, saya ditutorin bareng satu ibu ini. Saya nggak tahu sih beliau namanya siapa. Tapi beliau ini ternyata tinggal di Pundong, desa pengrajin keramik tanah liat gitu. Jadi untuk workshop hari ini, mereka - si ibu ini beserta teman-temannya - diundang khusus untuk memberikan tutor pembuatan keramik. Beliau ini telah jadi pengrajin selama 20 tahun. Ibu dari ibu pengrajin keramik ini dulunya juga pengrajin keramik, keramik tanah liat perkakas dapur, macam anglo, tungku, kendil, dll. Dalam sehari, ibu ini bisa membuat 200-300 keramik tanah liat. Keramik tanah liat ini biasanya datang pesanan, untuk souvenir pernikahan. Coba tebak harganya berapa. Seribu rupiah hingga dua ribu rupiah! Bayangkan! Betapa susahnya membuat keramik tanak liat ini, prosesnya yang lama, tapi harganya begitu murah. Duh, nggak ngerti lagi deh.




Kata ibu ini, membuat keramik itu harus telaten, harus hati-hati, harus pakai perasaan. Papan di bawahnya harus diputar dengan kecepatan yang konstan. Jangan tersendal-sendal, tapi juga jangan terlalu pelan. Tanah liat diambil dan diletakkan di tengah-tengah. Harus di tengah-tengah dari piringan alasnya. Kalau tidak di tengah-tenah persis, pasti keramiknya akan penyol-penyol. Tangan harus selalu dibasahi agar licin dan tanah liat tidak menempel. Kalau tanah liat menempel, nanti keramik tanah liatnya jadi tidak halus. Tapi jangan terlalu banyak air, nanti malah jadi sangat lembek dan mudah penyok. Posisi tangan juga ada tekniknya sendiri. Jangan terlalu kuat, nanti penyok, jangan terlalu kendor, nanti nggak jadi-jadi. Beda piringan beda hasil. Ada yang terbuat dari besi, memutarnya lebih halus, lebih lancar, tapi kesenggol dikit pasti jatuh. Ada yang terbuat dari cor-coran beton, memutarnya berat, lebih susah daripada palai piringan besi, tapi antep. Saya sempat nyoba bikin keramik di tempat ibu-ibu pengrajin yang lain dan hasilnya jauh beda dengan ketika saya bersama ibu-ibu yang awal tadi. Ibu itu bilang, membikin keramik memang perlu belajar lama. Tidak bisa sehari langsung bisa -ya, kecuali orang itu prodigi sih ya-. Ibu itu dulu juga selama rentang waktu tertentu diworkshop dari lembaga pelatihan kerja untuk membikin keramik tanah liat ini. 



(si ibu lagi bikin vas)
(hasil keramik bikinan saya. Agak penyok karena ganti piringan alas)
(yang ini gagal juga karena tangan kurang dibasahi)
(terlihat jelas perbandingan antara pro dan amatir)
(yang vas terpancung itu punya siska)

Sayangnya keramik yang saya buat tidak bisa langsung saya bawa pulang. Karena proses yang akan dilaluinya ternyata masih panjang. Keramik-keramik yang telah dibuat ini kemudian harus di jemur sampai kering. Setelah kering, keramik tanah liat harus di oven. Ovennya tentusaja besar sekali, sebesar rumah. Tungku yang dipunyai ibu ini memiliki 3 tungku - tiga lubang memasukkan kayu maksudnya-. Sekali pembakaran bisa selama satu hari. Itupun sekali bakar bisa mencapai seribu keramik kecil-kecil. Ya, kalau untuk kejar setoran, kadang 500 keramik juga bisa. Tapi proses pembakaran juga cukup sulit. Api harus konstant. Panasnya harus merata kalau tidak keramik bisa retak pecah-pecah. Selain itu, bahan bakarnya masih kayu dan senantiasa harus ditunggui tak bisa ditinggal karena harus memasukkan kayu ketika nyala api berkurang. Tapi katanya, biasanay workshop di Tembi ini karya keramik bisa diperoleh setelah dibakarkan oleh ibu-ibu pengrajin ini. Entah kapan karya saya bisa saya bawa pulang.


Nah, setelah itu ada lagi workshop membatik. Membatik itu sulit sekali. Damn, sulit sekali. Meski di rumah pernah diajari bapak saya, tapi tetap saja membatik itu sulit sekali. Malam -wax- harus dipanaskan sampai encer betul dan terus dipanasi. Canting harus diisi, jangan terlalu penuh, jangan terlalu sedikit. Memegangnya pun ada caranya tersendiri. Setelah mengambil malam di canting, harus diteteskan dulu di tempat lain sebelum membatik. Kain yang akan dibatik harus dalam posisi miring. Posisi canting dan bibir canting harus agak naik agar malam tak langsung deras menetes. Canting itu dipakai menggambar secara simultan, terus menerus. Sebaiknya sebuah garis tidak terputus di tengah jalan, karena kalau terputus nanti tetesan pertama dari canting selanjutnya menjadikan pola tidak bagus. Orang yang punya tangan tremor agak kesusahan di motif panjang-panjangini. Juga harus hati-hati betul agar malam tak menetes ke kain, nanti pasti akan meninggalkan bintik. Malam di dalam canting juga harus dalam keadaan terus cair. Kalau sudah susah menetes celukan lagi canting agak lama baru mengambil lagi dan memulai menggambar lagi.


(yang kain di bawah itu punya saya. Belepotan banget. >,<)
Memang benar-benar susah sih, harus teliti, harus telaten. Pun malam yang digambarkan itu harus merembes sampai ke belakang kain agar polanya bolak balik, kalau tidak, ya harus diulang lagi agar polanya tertutup semua. Setiap orang juga punya gaya sendiri-sendiri saat memegang canting. Saya diolok-olok kaya megang steples sama ibu-ibu yang mengajari membatik. Lucu juga sih, soalnya kalau agak ketengah nanti kena tetesan malam yang masih panas. >,< Dan saya paham betul sih betapa sungguh harga batik tulis asli pantas mahal. Yang bikin harus telaten dan rapi. Belum lagi kalau pewarnanya langka. Wuih, harga bisa selangit.

Tentang pewarnaan batik. Ada dua jenis pewarnaan, pewarnaan celup dingin dan pewarnaan celup panas. Pewarnaan dingin itu biasanya digunakan untuk pewarna-pewarna alami yang biasanya warnanya lebih awet. Sedang pewarnaan panas macam menaptol ulang jeans, itu agak kurang awet. Dan yang kami lakukan kali ini adalah pakai pewarnaan celup dingin. Jadi kain yang telah digambari motif batik itu yang tidak akan kena warna. Pertama-tama kain dimasukkan ke dalam larutan pengikat warna, beberapa kali celup, ditiriskan lalu masuk ke larutan pewarna. Kain yang awalnya berwarna kekuning-kuningan itu tiba-tiba menjadi berwarna merah. Seperti sulap, bukan main. Setelah dicelup beberapa kali proses diulangi sekali lagi agar warnanya tajam. Setelah dicelup warna lantas dimasukkan ke dalam air yang mendidih di atas kompor untuk melarutkan malamnya. Kain ditiriskan, lalu dijemur diangin-anginkan.




Dan jadilah kain batik. Kan tiba-tiba saya jadi kebayang bagaimana orang-orang ini membikin batis tulis yang kainnya panjang-panjang. Ah, pasti susah banget, ribet. Pantaslah, harga mahal batik saya rasa sedikit bisa membayar jerih payah sang pengrajin.

Sebenarnya setelah workshop batik ada workshop energi spiritual. Ah, tapi mungkin tidak akan saya ceritakan di sini karena bakalan absurb banget. Selain itu juga ada band performance yang hipster banget lah. Panggungnya benar-benar bergaya panggung dan tampil pas di samping sawah. Aneh banget lah itu acara. hahaha


Dan seharian itu berakhir dengan hujan yang mengguyur jogja dengan derasnya. Ya, udan salah mongso.

[ ]

2 comments:

  1. harus wajib dan kudu banget ngajak aku kalo ada acara2 kek beginian lagi nis

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahahaha, kapan-kapan lagi yo meg, tahun depan mungkin ada lagi

      Delete