Langit cerah sekali siang itu. Awan berarakan ke arah barat, samar-samat terlihat dari jendela tinggi di studio seni rupa. Sayup-sayup, terdengar suara gaduh murid-murid di luar studio. Aku bersandar pada kursi kayu lawas sambil menatap awan-awan itu dengan pandangan hampa. Kanvas berukuran 100 x 200 cm dihadapanku itu masih kosong, tak ada satu gores sketsa pun di sana. Benar-benar kosong, seperti pikiranku, seperti lamunanku.

"Surya, kamu belum mulai menggambar?" tiba-tiba guru seni rupaku telah berdiri di sampingku. Sekonyong-konyong aku tergagap dari lamunanku, dan refleks membenarkan dudukku yang serampangan.

"Anu, belum ada ide mau gambar apa, pak." kataku sambil nyengir dan garuk-garuk kepala.

Guru seni rupaku itu mendecak tak sabar.
"Ingat, minggu depan sudah harus mulai mewarnai, lho. Aku harap kau bisa selesaikan sketsamu sampai akhir minggu ini."

"Ba, baik, pak." jawabku gugup. Ia melenggang pergi menuju anak-anak yang lain, lalu melaju keluar studio seni rupa.

Kelas mulai ramai, anak-anak yang dari tadi tekun menghadapi kanvas mereka mulai jalan-jalan di dalam kelas, melihat kerjaan teman-teman yang lain. Aku menarik napas dan menghembuskannya cepat-cepat. Aku tak mungkin akan menyelesaikan sketsa hari ini. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Anggit sedang menggambarkan Janu seekor kuda, kepala hingga leher. Aku beranjak dari kursiku dan menghampiri mereka.

"Kalian gambar apa?" tanyaku sambil melongok ke kanvas Anggit dan Janu bergantian. Anggit masih diam, sepertinya berkonsentrasi menggambarkan Janu. Janu hanya nyengir dan tak menjawab. Kanvas Anggit sedikit sekali gambarnya, tipis saja. Ada seorang perempuan yang duduk di jendela yang besar, membelakangiku.

"Sketsamu gini doang?" tanyaku kepada Anggit yang beranjak kembali ke tempat duduknya. Dan ia hanya nyengir lebar tak menjawab pertanyaanku.

"Jan! Janu!" teriak Pram dari depan pintu. Serentak kami bertiga menoleh ke arah Pram. Ia tergesa-gesa sekali masuk ke dalam studio. Beberapa anak kelas menatapnya dengan tatapan penasaran.

"Gawat! Kamu harus ikut aku." katanya sambil menarik Janu berdiri dari duduknya. Tubuh Pram yang besar dengan mudah menarik Janu yang sama besarnya berdiri dari kursi. Tapi Janu sedikit mengelak dengan menarik kembali tangannya.

"Apaan sih?" tanya Janu penasaran.

"Pokoknya gawat! Kamu harus ikut."

"Apa? Ada yang berkelahi?"

"Udah, jangan banyak tanya, pokoknya kamu ikut saja!" kata Pram sambil kembali menyeret Janu untuk bergerak. Pram menatapku dan Anggit yang terpaku di tempat.

"Kalian berdua ikut juga."

Tanpa memberi penjelasan, ia menyeret Janu keluar. Aku dan Anggit saling mengerling satu sama lain lalu menyusul mereka. Di luar studio, beberapa anak berjalan menuju ke arah Hall, arah yang sepertinya dituju Pram dan Janu. Aku sebenarnya cukup heran. Memang ini jam pelajaran terakhir dan sebagian kelas pasti sudah selesai. Tapi mengapa banyak dari mereka berlarian menuju Hall seperti sebuah eksodus Musa dari tanak Mesir?

Di Hall, ramai sekali. Suaran gending dan lagu jawa terputar lewat speaker Hall. Pram dan Janu yang berbadan besar segera saja merangsek maju, membukakan jalan bagiku dan Anggit yang celingukan. Aku menemukan Jay berdiri di deretan depan sambil menatap ke tengah Hall.

"Hoo, kalian sudah sampai." katanya sekilas lalu menatap ke tengah Hall lagi.

Aku lalu mengikuti pandangan Pram dan mendapati hal paling mengejutkan. Ada seseorang yang sedang menari di tengah sana. Tama. Ya, anak perempuan tomboy yang berada dalam lingkaran pertemanan Janu, Jay, Pram dan Anggit. Anak perempuan yang akhir-akhir ini ikut latihan 3 on 3 kami berlima di belakang rumah Janu. Anak perempuan yang berambut pendek bergelombang berkacamata yang tak pernah memperhatikan penampilannya itu kini sedang menarikan tari tradisional jawa, Tari Gambyong. Begitu luwes, begitu menjiwai, begitu memikat, begitu wanita, begitu cantik, begitu mempesona.

Aku terpana melihatnya menari. Aku memang mendengar dari Anggit kalau Tama memang menari sejak kecil. Tapi kupikir tak akan sepandai ini menari. Ingatanku kembali berputar ke saat aku masih kecil, umur 7 tahun mungkin. Pertama kali aku melihat kakak sepupuku yang waktu itu sedang lomba dan menarikan tarian ini. Waktu itu, untuk pertama kalinya aku melihat bahwa perempuan itu bisa secantik ini. Ya, secantik ini!

"Tama cantik ya, kalau sedang menari." kata Anggit entah kepada siapa. Dan aku hanya terdiam karena begitu terpesona.

Tangannya yang gemulai melakukan gerakan tari yang tak kumengerti bagaimana bisa ia lakukan. Ia begitu cantik. Apakah biasanya Tama secantik ini? Bergoyang kiri kanan, tangan kanan dan kirinya menekuk bergantian, lalu menyibakan selendang seperti membelai angin, lalu menggoyangkan tangannya bergantian. Ia begitu cantik. Apakah Tama memang secantik ini? Lalu kedua tangannya memegangi selendangnya, berjalan mundur maju mundur lalu berputar dua kali. Ia begitu cantik. Ia merunduk dengan sikap badan yang tegap, menekuk lututnya lalu naik lagi, menggoyangkan tangannya kiri dan kanan, memutar selendangnya. Lalu musik melambat dan tarian Gambyong itu selesai. Ya, Tama memang secantik ini. Gemuruh tepuk tangan di Hall membuyarkan lamunanku.

Tama yang berdiri di tengah Hall sepertinya juga tak sadar ia telah jadi tontonan anak-anak satu sekolah. Ia mengernyit heran sambil tersenyum lebar sekali. Ia menunduk sambil berputar di tempat, berterimakasih. Yang terakhir ia menghadap ke arah kami, ke arahku dan Janu, Jay, Pram dan Anggit.

"Tama, kamu keren banget!" teriak Janu sambil mengacunginya 2 jempol tangannya. Tama tertawa lepas sekali mendengar pujian dari Janu.

Lalu pandangan kami bertemu. Ia tersenyum penuh percaya diri sama seperti biasanya, seolah berkata, 'Aku keren kan!' Dan aku sama sekali tak bisa membalas senyuman itu. Kepalaku serasa melayang.

Barusan, ia menghempas sesuatu ke suatu tempat di dadaku. Dan diam-diam aku telah menemukan apa yang akan aku lukis di kanvasku.


[ ]

You want to see what is Tari Gambyong? Please check this link.
Or, see this video bellow.


No comments:

Post a Comment