- Goenawan Mohamad
Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang
Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Yakni
ketika pasang berakhir, dan aku
menggerutu, “masih
tersisa harum lehermu”; dan kau tak
menyahutku.
Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
hijau (mungkin kelabu).
Angin amis. Dan
di laut susut itu, aku tahu,
tak ada lagi jejakmu.
Berarti pagi telah mengantar kau kembali,
pulang dari
sebuah dongeng tentang
jin yang memperkosa putri yang
semalam mungkin
kubayangkan untukmu, tanpa tercatat,
meskipun pada pasir
gelap.
Bukankah matahari telah bersalin dan
melahirkan kenyataan yang agak lain?
Dan sebuah jadwal lain?
Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang
setia, seperti sebuah gambar keluarga
(di mana kita, berdua, tak pernah ada)?
Tidak aneh.
Tidak ada janji
pada pantai
yang kini tawar
tanpa ombak
(atau cinta yang bengal).
Aku pun ingin berkemas untuk
kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah
garis, dan berkata: “Mungkin tak ada
dosa, tapi ada yang
percuma saja.”
Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak
yang
sentimentil. Dan itulah
soalnya.
Di mana ada keluh ketika dari pohon itu
mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
ketika kini tinggal panas & pasir yang
bersetubuh.
Di mana perasaan-perasaan memilih artinya
sendiri,
di mana mengentara bekas dalam hati dan
kalimat-
kalimat biasa berlarat-larat (setelah
semacam
affair singkat), dan kita menelan ludah
sembari
berkata: “Wah, apa daya.”
Barangkali kita memang tak teramat
berbakat untuk
menertibkan diri dan hal
ihwal dalam soal seperti ini.
Lagi pula dalam sebuah sajak yang
sentimentil hanya ada satu
dalil: biarkan akal yang
angker itu mencibir!
Meskipun alam makin praktis dan
orang-orang telah
memberi tanda DILARANG
NANGIS.
Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan
lagi datang
padaku.
Kita memang bersandar pada apa yang
mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk
apa.
Barangkali saja kita masih mencoba memberi
harga
pada sesuatu yang
sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut
pada lokan, mungkin akan
tetap juga di sana – apa pun
maknanya.
(1973)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment