Akhir pekan, seperti biasa kita berempat berjanji untuk bertemu di Semesta. Sudah pukul 8 dan kalian bertiga, seperti biasa, belum juga datang. Aku keburu lapar hingga memesan nasi goreng duluan malam itu. Aku harus mampir Burjo sebelum pulang. Sambil buru-buru menyelesaikan porsi nasi goreng yang kurang, aku akhirnya terdistraksi oleh orang-orang yang bergerombol ngobrol di berbagai sudut cafe. Sepasang lawan jenis di meja sebelah membuatku iri. Memang nasib, menjomblo di akhir masa kuliah itu sulit.

Akhinya di suapan yang terakhir kau dan Abi datang bersamaan. Selalu. Memang, diantara kita berempat, kau memang paling dekat dengan Abi sejak dulu, padahal aku yang lebih dulu mengenalmu.

"Hei, Bim, udah dari tadi banget?" tanyamu sambil mengendik ke arah piringku yang sudah kosong. kau duduk di hadapanku, di seberang mejaku. Senyumanmu seakan mengejekku. Aku mendengus kesal sambil menyingkirkan piring yang diambil oleh waiters yang kebetulan lewat.

"Mau pesan apa, mbak, mas?" tanya petugas berkemeja putih klimis berjelanan hitam licin habis disetrika itu kepadamu dan Abi yang baru datang.

"Hot chocholate sama spagetinya satu. Kau apa Bi?" tanyamu kepada Abi.

"Kopi Semesta satu sama kentang goreng special." jawab Abi dengan sebatang rokok putih terselip di bibirnya.

"Oke, saya ulanggi pesanannya ya, Hot chocholate, spageti, Kopi Semesta, dan kentang goreng specialnya masing-masing satu, ya. Mohon langsung bayar di kasir ya, mbak, mas."

"Oke mas, jangan lama-lama ya." kata Abi bercanda. Ia sibuk mencari korek api. Lalu kau dengan cekatan mengambil lighter dari kantong tasmu dan menyalakannya untuk Abi.

"Aku baru tahu kalau sekarnag kamu ngrokok" kata Abi singkat. Asap rokok mulai mengepul dari hidung dan bibir Abi.

"Sialan, emang kalau bawa lighter pasti ngrokok?!" protesmu bersungut-sungut kesal. Abi hanya mendengus menahan tawa.

Aku mengetuk-ngetukkan jariku ke meja, tak sabar menunggu seorang lagi. Ada sedikit rasa gatal ingin merokok. Kau sepertinya menangkap gelagatku.

"Ya udah sih, Bim, ngrokok aja. I don't mind. Mumpung Ria belum datang." ujarmu sambil mengangsurkan lightermu.

Abi meletakkan bungkus rokoknya di atas meja yang kemudian ku sambar dan mengambilnya satu. Dalam sekali tarikan napas, nikotin terbakar itu memasuki paru-paruku dan membuatku lebih rileks. Batuk-batuk kecilmu membuyarkanku dari kenikmatan sejenak yang tadi kurasakan.

"Sorry, sorry! Asapnya kena kamu ya, Za. Maaf ya!" kataku panik sambil menggapai-gapai asap rokok yang tersisa di sekitarmu. Tapi kau malah tertawa sambil batuk-batuk kecil.

"Meski sudah lama bareng kalian aku masih belum terbiasa menghirup asap rokok."

Belum sempat aku menanggapi, Ria datang menginterupsi.

"Sorry guys, telat banget ya. Tapi teleponan dulu sama yayang." kata Ria dengan nada centil yang diakhiri dengan kikikan tawa yang terdengat aneh. Aku mengernyit tapi sepertinya dia tak peduli dan duduk di kursi di samping ku, menggenapi lingkaran kami berempat dengan meja sebagai pusatnya.

Dan, dimulailah rutinitas akhir pekan kami berempat. Menjadi satu-satunya sekelompok sahabat sejak SMA yang sama-sama sedang merantau untuk menuntut ilmu, kami sering berkumpul untuk menjalin tali silaturahmi dan juga ajang untuk bertukar kabar. Yang dibahas biasanya seputar kampus karena memang kami tidak jadi satu jurusan. Aku dan Abi memang satu Fakultas tapi beda jurusan dengan Ria dan Oza jadi memang jarang sekali bertemu satu sama lain meski di kampus yang sama. kalau perihal kampus selesai di bahas, pasti akan masuk fase dimana kami akan menginterogasi Ria dan bagaimana hubungannya dengan sahabat kami yang lain. Mereka memang sedang LDRan, jadian selepas kelulusan SMA, sempat menggemparkan anak-anak sekelas karena sungguh tak terduga. Kalau Ria sudah selesai, pasti akan menginterogasi Abi dan cewek-cewek yang menjadi korbannya. Abi memang terkenal. Meski nggak keren-keren amat atau ganteng-ganteng amat (bahkan aku lebih ganteng daripada dia!), cukup banyak cewek-cewek yang klepek-klepek karena memang Abi pandai mendapatkan hati cewek-cewek. Entah ia berguru kepada siapa, tapi memang sejak SMA ia terkenal dekat dengan beberapa it's girls type di SMA.

"Ah, bosen deh, aku sama Abi mulu yang cerita soal kisah cinta kami." kata Ria lalu mengambil kentang goreng dan mencocolnya ke sambal tomat. Aku sebenarnya sedikit geli dengan pemilihan kata 'kisah cinta' yang dipakai Ria. Entah mengapa dalam bayanganku yang muncul itu malah adegan-adegan film India dimana si cowok bintang utama mengejar cewek bintang utama di tengah padang bunga, lalu mereka nyanyi-nyanyi dibawah rinai hujan, lalu di cowok menangkap selendang sari si cewek yang berkibar terbawa angin, lalu si cewek itu berhenti berlari lalu si cowok itu menarik si cewek itu ... Tawamu memecah imajinasiku, membuatku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sepertinya aku terlalu berlebihan.

"Memang kenapa si, Ri?" tanyamu dengan nada geli. Aku melirik Abi yang terdiam menyimak dengan ekspresi serius dan, tunggu, penasaran ?

"Ya, kan aku pengen gitu, sekali-kali mendengerkan ceritamu soal cowok. Aku pengen liat seperti apa ketika kamu jatuh cinta sama orang lain, Za." kata Ria gemas.

Kau kembali tertawa lepas. Ekspresi tertawa memang cocok untukmu.

"Memangnya aku sedang tidak jatuh cinta?" tanyamu dengan nada jahiil. Alis kirimu terangkat satu senti. Ah, aku suka ekspresi jahilmu itu. Entah sejak kapan.

"Mana ada orang yang lagi jatuh cinta kaya kau ini!" protes Ria yang kau dan Abi sambut dengan tawa.

"Hei, mending nanggap Bimo aja tuh daripada memojokanku." ujarmu sambil menatapku jahil. Aku gelagapan ditatap seperti itu olehmu.

"Heh, apaan sih, Za!?" protesku kepadamu senatural mungkin. Aku tak mau terlihat mencurigakan di depan kalian semua.

"Ah, Bimo itu nggak asyik. Dan dia tuh bakalan masih dalam keadaan jomblo dalam waktu lama. Jadi nggak ada bahan buat menginterogasi dia!" kata Ria meyakinkan.

"Sialan banget sih! Jomblo dalam waktu lama apaan. Gini-gini banyak yang bilang aku keren loh." protesku kepada Ria. Dan kau tertawa puas melihatku yang berusaha sekuat tenaga bersikap biasa.

"Cukstau deh, Bim." kata Abi sambil mesem dan menyeruput kopinya. Yah, Abi memang tahu segalanya.  Ya, ia tahu aku suka padamu sejak lama.


**

"Si Oza kenapa sih nggak jadi bisa ikut ngumpul bareng kita bertiga?" tanya Ria saat kami berkumpul di parkiran sekaten Alun-Alun Lor.

"Dia ada acara sama temen-temen kampusnya." kata Abi terdengar dewasa ketika kami bertiga berjalan dari parkiran ke area pasar malam. Ria kemudian tak banyak bertanya dan protes kepada Abi karena ia mulai terdistraksi dengan berbagai jajanan yang dijual di pasar malam. Sedang aku, kali ini aku menjadi sosok yang pendiam. Untungnya, kecerewetan Ria mengisi kekosongan yang kamu ciptakan karena tak datang di acara mingguan kita.

"Eh, naik kora-kora yuk yuk!" kata Ria semangat banget sambil menarik lenganku dan Abi. Pasar malam cukup ramai, meski begitu berkas Ria yang menggandeng kami, kami bisa dengan cepat menyelip diantara orang-orang dan mulai mengantri di urutan ke 5 untuk bisa naik kora-kora.

Abi mulai merokok karena bosan menunggu. Aku mengeluarkan rokokku lalu ikut-ikutan merokok. Ria cemberut melihat kami berdua merokok. Ia memang tak suka ketika kami merokok di depannya. Seperti biasa, ia mulai berceloteh mengenai bagaimana efek rokok terhadap organ tubuh. Aku dan Abi hanya mengiyakan tanpa menghentikannya yang mengeluarkan seluruh kemampuan kedokterannya.

Aku baru saja menghisap rokokku dalam hisapan yang dalam ketika aku melihatmu diantara kerumunan orang-orang. Tak salah lagi, itu kamu. Memang dirimu. Aku mematung di tempatku.

Kamu sedang berdiri diantara gerombolan anak kampusmu mungkin ? Kalian sedang mengantri untuk membeli permen kapas. Kau sedang berbicara kepada seseorang. Seorang laki-laki yang tinggi. Kamu terlihat hanya sebahunya, terlihat kecil sekali. Dari caramu mengobrol, dari gestur tubuhmu, dari tatapan matamu, dari caramu tertawa, aku merasa, kau ada sesuatu dengannya. Mungkinkah ia adalah orang yang saat ini sedang kau sukai? Aku menghisap rokokku lalu mengeluarkan dalam hembusan panjang, masih tak melepaskan pandanganku darimu, dari kau dan laki-laki itu, dari rombonganmu.

"Hei, itu kan, Oza. Iya kan?" tiba-tiba Ria menyeletuk. Aku masih bergeming tak menjawab.

"Oh, jadi dia pergi ke Sekaten bareng anak kampusnya. Eh, dia lagi ngobrol sama cowok. Siapa ya? Jangan-jangan! Kita samperin yuk?" kata Ria.

Entah mengapa tanpa pikir panjang aku memegangi tangan Ria, mencekalnya untuk menghampirimu.

"Bi, Bim, kok kalian kompak banget sih mencegatku!" protes Ria heran.

Aku menoleh. Dan ternyata Abi juga mencekal Ria.

"Jangan. Kau tahu Oza itu seperti apa kan. Kalau dia tidak bercerita berarti memang tak ada apa-apa. Besok kalau sudah jelas pasti dia mau cerita." kata Abi terdengar dewasa.

Aku menatap Abi. Abi menatapku dengan tatapan prihatin, seolah berkata "Sorry to say. But I know that feel bro."

Lalu aku jadi ingat sepenggal kalimatmu yang kau katakan seminggu lalu.


"Memangnya aku sedang tidak jatuh cinta?" 

No comments:

Post a Comment