Akhirnya, setelah akhir Oktober lalu berniat mengadakan pendakian Merbabu hanya berempat, saya pun pergi juga bersama rombongan yang berbeda ke Merbabu. Gunung yang belum saya tuntaskan dua tahun lalu. (Ah, lihat tulisan saya di link ini)

Suasana di kampus yang sedang sumpek, pikiran saya yang akhir-akhir ini tak kalah sumpek karena berbagai hal, perasaan sedih, khawatir, galau akademik merambah membuat meriang selama satu minggu, akhirnya saya memaksa Mas Reja buat menjadikan rencana ke Merbabu pada akhir loong week end kemarin. Kebetulan di sana ada Pras, anak 2012, yang keliatan sumpek dan pengen naik gunung, juga ada Fariz, mantan ketua KM yang hobi goes, ingin ikut juga. Dan plus, saya ajakin Nuzuli partner naik gunung bersama dengan Temi, teman saya yang juga anak Satub kemarin Juli Agustus habis ekspedisi ke Maluku.

Baru H-1 akhirnya diputuskan mau bawa apa aja dan packing. Yah, biasalah anak arsi itu biasanya memang sering sekali berwacana tanpa akhirnya terealisasikan. Tapi kali ini memang jadi karena semua orang sepertinya ingin melarikan diri dari sesuatu, termasuk saya. Mengadu kepada Ibu Negeri lewat sebuah perjalanan ziarah mendaki perengan Gunung sepertinya jadi satu hal yang saya pilih. Ah, apalagi, long week end itu berakhir pada satu suro. Lengkap sudah sebuah perjalanan (baca: pilgrim) ini. Tapi sayang sekali, kelamisan memang tiada tara. Nuzuli berkelit dari rombongan karena ada urusan carrier days hari itu juga. Ah, ya sudah. Akhirnya kami berangkat lah berlima saja.

Dari kampus berangkat pukul 1. Di jembatan Kali Putih lewat dan mengagumi karya Pak Pradip yang sudah jadi, sekaligus nun jauh di utara sana, Merapi tampak manggrong-manggrong megah indah sekali. Kebetulan cuaca sangat cerah sekali. Tapi diperjalanan ban motor Fariz bocor dan kami harus berhenti sejenak menunggunya di bengkel. Setelah itu perjalanan menuju Selo dilanjutkan kembali. Jalan yang ngeri banget memang tak dapat dihindari tapi saya sekali lagi, takjub dengan Merapi yang begitu dekat, yang begitu cerah, yang begitu mempesona bak bunga yang mekar. Sedang, di sampingnya, Merbabu memancarkan aura mistis karena diselimuti awan dan kabut. Cukup khawatir juga nantinya hujan pas di jalan. Ah, semoga tidak.

Sampai di basecamp kira-kira jam 3. Tak lama setelah itu, mengurus administrasi dll, kami pun mulai naik. Ah, baru jalan setengah jam saya sudah kecapekan, paru-paru saya tak bisa mengikat oksigen dan rasa-rasanya dada saya sakit sekali. Setelah tiap 10 menit berhenti untuk mengatur napas, akhirnya saya menemukan ritme perjalanan. Naik naik dan naik terus hingga melewati tempat dulu saya ngecamp di pendakian Merbabu yang pertama pas kena serangan badai. Naik naik naik dan sampai di pos tiga lalu lanjut ke pos empat.

Menuju pos empat sungguh curam sekali. Karena saya takut ketinggian, saya takut saja terjengkang ke belakang karena jalanannya yang susah. Sempat salah jalur dan bertemu jurang lalu berkat hidayah Allah akhirnya kami kembali ke jalan yang benar. hehehehe. Nah, saya sempat jatuh lalu istirahat sebentar tapi malah kena kram dada karena bergerak tiba-tiba. Akhirnya tas saya dibawakan deh. Sungguh memalukan sekali. Tapi kami jalan terus dan ternyata tempat berhenti tadi sungguh dekat dengan pos 4. Di pos 4 yang disebut sebagai sabana 1 itu kami memutuskan untuk berkemah. Waktu itu jam tangan saya menunjukkan angka setengah 9 malam. Ternyata perjalanannya cukup lama juga mengingat saya banyak mengajak berhenti-berhenti. Yah, makhlum lama nggak olah raga trus tiba-tiba harus jalan jauh menanjak pula.

Setelah berkelahi melawan angin dan dingin akhirnya 2 tenda berdiri juga. Mas Reja langsung tidur di dalam tenda dan tinggal saya, Temi, dan Pras yang masih di luar untuk membuat sekedar minuman dan makanan sebelum tidur. Lalu sekitar pukul 12 kami berangkat tidur. Saya susah tidur karena dingin sekali. Selain itu muncul rombongan lain yang berisik sekali. Baru sekitar pukul 2 itu saya tidur dan terbangun lagi pukul 3 ketika orang-orang meneruskan perjalanan ke puncak.

Pukul 4 kami benar-benar bangun dengan susah payah dan mulai menempuh perjalanan menuju puncak. Rasa-rasanya saya tak kuat dan ingin menyerah. Tapi saya tetak berjalan mengikuti Fariz yang ada 10 meter di depan saya. Pras, ah, dia sungguh jago sekali dan berjalan duluan untuk menyambut kami di puncak. Berjalan dari pukul 4 akhirnya sampai juga di puncak Triangulasi pukul setengah 7 lebih. Wow, lama juga ternyata. Dan Pras sudah sampai puncak pukul 6 tadi. Ah, sial!





Di puncak ramai sekali oleh para pendaki. Di tengah kabut itu terlihat puncak seberang yang juga ada banya orang. Dan kami memutuskan untuk di puncak ini saja, tidak ke kenteng songo. Tentang puncak Triangulasi, adalah salah satu dari 7 puncak Gunung Merbabu dan merupakan salah satu puncak tertinggi. Puncak Triangulasi memiliki tinggi 3142 mdpl. Makin siang kabut makin tebal dan angin makin dahsyat. Kami memutuskan untuk menunggu matahari nampak dan baru mau turuh pukul 9. Dan mendapat tempat agak tertutup semak, tapi anginnya sungguh dahsyat menerbangkan debu dan pasir bikin mata kelilipan! Tapi matahari yang ditunggu-tunggu tidak juga nampak sedang puncak sudah sepi karena orang-orang yang sudah pada turun. Akhirnya pukul 8 itu kami bergegas untuk turun.



(dari kiri : Fariz, Mas Reja, Temi, Pras)
(dari kiri : Mas Reja, saya, Temi, Pras)

Di perjalanan sebelum sabana 2, kami berhenti untuk nderuki bunga edelweis yang kemarin bekas terbakar. Etika pendakian, kita tidak boleh secara sengaja memetik bunga edelweis karena nanti takut punah diakibatkan orang-orang yang pengen mengkoleksi. Bunga hasil patahan itupun saya hanya nemu dan saya sembunyikan di kantong meski akhirnya penyet juga.

(Mas Reja dan Fariz)
 

(Temi)
 





(Perkemahan kami. Tenda kami yang paling belakang warna orange)

Sesampai di perkemahan, kami memasak makanan yang sungguh enak sekali, bahkan lebih mewah dari menu saya makan di kosan. Hahahahaha. Ada nasi, ca kangkung, cheese nugget, telor dadar, dan pelengkap lainnya. Saya hanya makan secukupnya saja karena merasa agak nggak enak badan. Saya putuskan untuk tidur selama 30 menit lalu bangun dan berkemas. Ternyata Mas Reja dan Fariz juga sempet tidur 30 menit. Temi juga. Yah, memang pendakian ini sungguh melelahkan. Lalu sekitar pukul 1 lebih 15 menit kami mulai turun.









(Menu yang lezat melebih menu makan anak kos. :3 )
(Mas Reja)
(Pras)
(Fariz)
(Temi)


Gila ternyata jalanan yang ditempuh semalam benar-benar ekstrim. Saya sampai takut melangkah dan akhirnya prosotan meski bokong rasanya kebas dan kadang kebablasan dan tak bisa mengerem. Fariz dan Pras sudah duluan karena mereka sungguh lincah sekali. Hahahahaha. Saya yang takut ketinggian akhirnay berjalan pelan-pelan yang penting sampai. Malah ketika hampir sampai basecamp, hujan deras sekali dan harus pakai mantol. Sampai di basecamp bersih-bersih dulu dan pesen soto sambil menunggu hujan reda. Pas soto datang hujan sudah reda tapi malah turun kabut. Baru deh sekitar pukul setengah 6 itu kami mulai berjalan balik ke Jogja lagi.




(Pras yang keren banget di perjalanan ini)

Meski capek dan berniat tak akan ke sana lagi, saya senang telah mendaki Merbabu hingga tuntas. Rasa-rasanya beban pikiran saya tersedot di sana dan kini agak lebih fres. Tapi hidup terus berjalan, dan masih banyak hal besar yang menghadang. Hanya tinggal kau sendiri yang memutuskan, apakan akan melanjutkan perjalanan atau kabur. Memang, perlu tekad yang kuat untuk menempu perjalanan. Mendaki Gunung hanya sekelumit kecil citra kehidupan manusia. Yang asli, sepertinya lebih liar lagi.




Ada bonus dari saya.

(Puncak Triangulasi. 3142 mdpl)




[ ]

No comments:

Post a Comment