Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang sebuah buku yang akhirnya setelah (mungkin) satu tahun beli baru saya tuntaskan membaca tadi malam. Buku ini berjudul Rumah Bambu, sebuah kumpulan cerpen karya Romo Mangun.



Arsitek Indonesia mana, mahasiswa arsitktur mana, dosen arsitektur mana, yang tak tahu YB Mangunwijaya atau yang akrab dipanggil Romo Mangun? Semua kalangan arsitektur mestinya tahu lewat bukunya yang terkenal, kitab arsitektur selain Data Architects dan Time-saver Standards, yaitu buku legendaris Wastu Citra. Tapi saya telah jauh, sangat jauh-jauh, hari telah tahu tentang Romo Mangun. Bukan lewat karya arsitekturnya, tetapi lewat karya sastranya, Burung-burung Manyar. Dulu sekali waktu saya SMA saya pernah merasakan deja vu mengenai Burung-burung Manyar ketika melintasi suatu tempat di daerah balai kota. Waktu itu saya lupa, benar-benar lupa dimana saya mengenal Burung-burung Manyar karya Romo Manggun itu. Pun sampai sekarang saya belum berhasil menemukan buku itu dan membacanya.

Lalu saya menemukan buku ini dideretan buku-buku baru di Togamas ketika saya iseng main. Tertarik dengan sampulnya dan memang belum pernah membaca karya sastra Romo Mangun, akhirnya saya beli juga. (Ah, tapi meski sudah mulai membaca Wastu Citra hampir satu setengah tahun lalu, toh buku itu masih belum saya tuntaskan).

Rumah Bambu adalah kumpulan cerpen Romo Mangun yang pertama dan terakhir kali diterbitkan. (Oke, jadi memang buk ini sepertinya limited edition) Sebagian besar cerpen-cerpen ini ditemukan di rumah penulis, di Kuwera, Yogyakarta, dalam keadaan penuh koreksi dan sulit dibaca. Dari duapuluh cerpen yang ada di dalam buku ini, hanya tiga yang pernah dipublikasikan. Dan dalam buku ini, cerpen-cerpen tersebut disunting oleh Joko Pinurbo (kalau tahu puisi berjudul celana kau pasti tahu siapa dia) dan juga  TH Kushardini.

Hampir semua tema cerita dalam buku ini adalah peristiwa-peristiwa yang kelihatan sederhana, sepele, dan mungkin remeh. Memang, Romo Mangun adalah sosok yang dikenal sederhana, lembut, mudah terharu dengan penderitaan orang lain, tetapi kalau perlu, bisa juga keras. Buku ini menantang pembaca untuk merasakan kehidupan manusia yang tidak pernah kita bayangkan.

Dari 20 cerpen dalam buku ini, salah satu yang saya suka adalah cerpen terakhirnya yang berjudul Natal 1945. Bercerita tentang seorang pemuda pelajar yang belum sampai tamat SMP (ah, ia masih kelas 3 SMP) dan ikut menjadi sukarelawan tentara pelajar untuk melawan NICA yang menyerbu kembali ke Indonesia paska kemerdekaan. Pemuda ini bernama Thalib. Bersama tiga orang temannya Darman, Pujiyono, dan Maryuki, mereka diperbantukan di pos Mranggen sopir truk pengangkut mayat prajurit. Keadaan genting perang membuat suasana serba tak nyaman, belum lagi perintah dari atasannya yang seenaknya saja suruh ini itu tak peduli apa yang terjadi. Ah, tapi ada Nani, seorang gadis Semarang lulusan SMT yang diperbantukan sebagai juru masak di pos Mranggen. Ia kabur ke Mranggen setelah huru-hara di tempat kelahirannya dan berharap dapat segera dengan keluarganya yang terpisah. Ia semacam kembang diantara para serdadu kumbang, prajurit yang haus perhatian wanita Tapi tak ada yang berani menggodanya, kecuali Maryuki yang memang buaya.

Bahasa yang dipakai dalam kumpulan cerpen ini memang bergaya lama. Tapi penyampaian cerita yang bertema ringan kadang membuat saya tertawa karena geli atau kadang tersenyum miris karena sependapat dengan tulisan Romo Mangun. Over all, saya sangat sarankan bagi kau kau sekalian untuk membaca kumpulan cerpen ini. Apalagi kalau memang kau sangat menyukai tulisan-tulisan Romo Mangun.


[ ]

No comments:

Post a Comment