Ia termangu di hadapan teluk. Ombak lautan tenang terpecah oleh bariakde tetrahedon yang ia naiki. Langit penuh dengan bintang yang amrok bak seaglass yang ditebar. Bangkai menara penanda tsunami yang kini telah mati berdiri kokoh di lepas teluk. Perempuan yang menatap ujung cakrawala yang tak terlihat itu memegangi sebuah kertas lipat merah muda luntur.

"Retna?"

Perempuan itu menoleh dan mendapati seorang laki-laki berkulit coklat terbakar matahari berbadan tegap berdiri di belakangnya sambil membawa lampu badai. Dalam keremangan malam itu si perempuan dapat melihat ekspresi sedih dalam tatapan laki-laki itu.

*

Musim melaut telah tiba. Cuaca sedang bagus-bagusnya. Orang-orang di pinggir teluk Sadeng biasa melaut selama seminggu sampai sepuluh hari untuk menangkap ikan dan lobster. Para laki-laki masyarakat pantai Sadeng telah mempersiapkan kapal dan perlengkapan sejak beberapa hari yang lalu. Malam itu, langit sungguh cerah. Lintang Kemukus melintas dari selatan ke utara. Para istri dan ibu dan anak yang hendak ditinggal suami anak dan ayah berkumpul di tepi teluk untuk berpisah dan saling mendoakan semoga semua orang yang pergi melaut dapat kembali dengan selamat dan membawa tangkapan yang banyak.

"Hati-hati ya, mas Bayu." ujar seorang perempuan muda kepada seorang laki-laki berbadan tegap berkulit gelap terbakar matahari yang sedang membenarkan jaring kapal. Laki-laki itu berbalik dan tersenyum menatap perempuan dihadapannya. Meski dalam gelap, perempuan itu dapat merawakan tatapan yang tajam itu mengarah ke matanya, membuatnya tersipu. Perempuan itu menunduk sambil memainkan ujung bajunya.

Laki-laki itu tersenyum lalu mengusap kepala perempuan itu.

"Tenang saja, Retna. Besok sepulang aku melaut, ku ajak kau ke kota. Ah iya, besok sepulang melaut aku akan menemui ayahmu."

Perempuan itu menatap si laki-laki dengan pandangan bertanya. Laki-laki itu mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga kiri si perempuan.

"Aku akan melamarmu." bisiknya. Perempuan itu kaget sekaligus tersipu malu lalu mengangguk.

Seorang laki-laki berperawakan mirip menghampiri keduanya dengan langkah kikuk.

"Mas, ayo wis do arep mangkat. -Mas, ayo, sudah pada mau berangkat.-" ujar laki-laki itu.

"Yo, Tir. Mengko dhisik." ujar si kakak.

Mereka berdua saling tatap dalam diam, ada getar kecemasan diantara tatapan itu. Tapi angin sedang bagus-bagusnya, si laki-laki harus segera berangkat melaut.

Perempuan itu menatap lantai pelabuhan nelayan kecil. Ia benci ditinggal pergi melaut oleh orang yang ia sayangi itu. Tapi apa boleh buat, beginilah cara kaum nelayan menyambung hidup, mempertaruhkan nyawa di lautan untuk menangkap ikan.

*

Seorang perempuan terduduk diam di depan kaca rias. Di tatapnya wanita yang duduk di pantulan cermin itu. Sanggul sederhana, riasan yang agak sedikit menor, kebaya putih longgar, dan jarit kain batik berwarna coklat. Ia terlihat murung, matanya membendung air. Ada yang mengganjal di tenggorokannya.

Simboknya membuka tirai kamar.

"Retna, ayo nduk, pak penghulunya sudah datang!"

"Iya mbok, sebentar." katanya dengan suara sengau lalu mengelap matanya hati-hati agar riasannya tak luntur.

*

Subuh itu kapal-kapal yang berangkat semalam menepi kesusu. Orang-orang yang bersiap ke pasar buru-buru mendatangi rombongan yang pulang cepat itu. Retna yang sudah bangun karena harus mempersiapkan sarapan untuk adik-adiknya ikut berlarian ke tepi pantai.

Orang-orang ribut ketika Retna datang. Diantara dengung omongan orang-orang itu, beberapa terisak. Ia merasakan firasat buruk yang jauh-jauh ia tampikkan.

Semua baik-baik saja.

"Ada apa, mbok?" tanya Retna kepada perempuan tua yang ada di barisan paling belakang dari kerumunan itu.

"Itu mbak Retna, yang melaut semalam tiba-tiba kena badai dan pulang cepat." Dadanya bergemuruh. Ia memaksa menyeruak kerumunan. Tapi ia tak menemukan sosok yang dicarinya itu, alih-alih sang adik. Si adik bersitatap dengan kecemasan Retna. Mata Retna berkaca-kaca. Si adik membuang pandangan.

"Tirta, mas Bayu neng ngendi? -Tirta, mas Bayu dimana?-" tanya Retna dengan suara bergetar.

Si adik tak menjawab, wajahnya mengeras menatap ke arah lain, matanya berkaca-kaca. Dari kerumunan menyeruak si Ibu. Ia menghambur tak mempedulikan Retna yang mematung.

"Tir, bapak ro masmu neng ngendi tir? Neng ngendi tir?" tanya si ibu sambil menangis histeris, ia memukuli dada bidang anak terakhirnya itu. Si anak diam sambil merangkul ibunya yang nangis kekejer.

*

Ia duduk di belakang bapaknya bersama simbok yang berdandan tak kalah menor. Bapaknya duduk di depan bangku lesehan. Di seberang meja itu ada Tirta dengan pakaian beskap hitam kebesaran. Di belakangnya si ibu tak lepas-lepas mengusap matanya dengan tisu. Meski sudah hati-hati riasannya luntur karena cucurah keringat dan air mata.

Retna melamun ketika sang penghulu berbicara pengantar ala kadarnya.



*


"Retna, aku akan menikahimu sebagai ganti kakakku." ujar Tirta pada malam kesepuluh sejak badai itu. Orang-orang sudah merelakan kepergian para nelayan yang terbawa dalam satu kapal yang terhantam badai malam itu. Hanya dua kapal dan beberapa awak saja yang selamat kembali ke daratan.

*

Dari arah pelabuhan terjadi keributan besar. Para orang-orang yang nyekseni manten di rumah keluarga Retna tidak khusyuk. Bapaknya Retna menghentikan kalimatnya ketika seseorang berlari dan berhenti di ambang pintu. Laki-laki itu goyah pada urusannya karena melihat apa yang sedang terjadi di rumah RW-nya itu. Si Pak RW melepaskan tangan Tirta. Semua orang kini menunggu apa yang hendak disampaikan orang itu sampai-sampai menganggu akad nikah anak Pak RW. Kecuali Retna, ia masih tertuntuk melamun.

"Anu pak RW, nyuwun ngapunten, sakmenika kanca-kanca kang ilang kenengan badai akhire mantuk. Sedaya slamet." ujar laki-laki itu dengan bahasa jawa campur aduk. Retna menegakkan diri karena mendengarkan kalimat itu.

Sedaya slamet. Semua orang selamat!

Orang-orang mulai kasak kusuk.

"Pripun pak, akad nikah badhe dipun lajengaken menapa mboten?" tanya sang penghulu kepada Pak RW.

Si ketua RW sejenak bergeming tak sadar, anak perempuannya sudah berdiri dan berlari sambil mengangkat jaritnya setinggi lutut. Ia berlari ke pelabuhan tanpa alas kaki. Ia tak mempedulikan tanah panas dan kerikil yang melukai kakinya. Ia juga tak peduli tatapan orang-orang yang heran melihat anak pak RW yang seharusnya melangsungkan akad nikah siang itu malah berlarian menuju ke pelabuhan. Ia hanya tahu ia harus berlari, bahwa firasatnya betul, bahwa ia tak sia-sia selama ini menghabiskan pagi di muka teluk, menanti kapal yang dikatakan terbawa badai malam itu, menanti pujaannya.

Di pelabuhan kecil itu orang-orang berkerumun. Beberapa saling berpelukan, beberapa menangis. Ia menggigit bawah bibirnya sambil menahan tangis dan terus berjalan mendekati kerumunan itu. Sosok yang dicarinya ada di sana. Ia kenal betul postur tubuhnya. Ia membekap mulutnya agar tangisnya tak menjadi. Air mata membasahi pipinya, membuat maskara murahan itu membuat jalur-jalur hitam di pipinya.

Kerumunan itu menyibak ketika tahu siapa yang datang. Si laki-laki sesaat tertegun melihat penampilan wanita itu. Ia tahu apa yang terjadi atau yang sudah terjadi atau yang akan terjadi. Laki-laki itu lalu membuat seulas senyum. Wanita itu terisak sambil menunduk, menyembunyikan emosinya. Laki-laki yang selamat itu menghampirinya sambil mengusap kepala Retna.

Rombongan akad nikah itu ternyata mengikuti Retna di belakangnya segera setelah Retna berlari ke luar rumah. Ayahnya tadi begitu marah atas perbuatan anaknya yang memalukan. Tapi akhirnya ia mengerti mengapa Retna berlari di tengah akad nikah itu. Ibu si laki-laki yang selamat dari badai itu menghampiri suaminya lalu menangis dipelukan suaminya. Si adik melepaskan beskap hitam, menyisakan kaos putih polos. Ia mengenakannya kepada si kakak.

"Mas." kata si adik dengan mata mbrambangi.

Sang kakak tersenyum lalu mengacak-acak kepala adiknya.





*


Diam-diam, ada kesedihan di hati seseorang, yang muncul bersama kapal-kapal yang menepi selepas badai.



[ ]



Sebuah fiksi diantara komposisi Lalu Aku Pergi Seperti Kapal yang Tak Pernah Kau Temukan - Gardika Gigih Pradipta. Kemboja - 29 Oktober 2013

4 comments:

  1. aaaaaa aniss bagus iniiiii :"")))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lagunya mas Gardika Gigih yang bagus mbak, menginspirasi, hehehehe

      Delete
  2. sebenernya rada nggak nyambung sama ceritanya sih nis, tapi aku kebayangbayang lagunya Chrisye - Andai Aku Bisa. coba tonton videoklipnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. hoooo, udah liat video klipnya, jenis ceritanya mirip gitu sama video klipnya, hahahahaha
      baru tahu. tapi kayaknya lebih sedih yang Chrisye - Andai Aku Bisa may
      ;)

      Delete