"karena ada sesuatu yang pasti terlewatkan dan terlupakan pada pertemuan pertama, dan karena pada pertemuan kedua takdir dipertemukan."- MMF, 2013




Jadi suatu ketika saya nemu poster di atas ini di timeline FB saya. Akhir-akhir ini saya gemar dan giat mengunjungi event-event seni di Jogja sebagai wahana pelepasan penat (padahal di kampus juga nggak ngapa-ngapain banget). Terakhir sebelum mengunjungi pameran ini saya mengunjungi Biennale Jogja di Jogja National Museum, tetapi tak akan saya bahas di sini. Oke, kembali ke topik.

Nah, kebetulan saya cukstau (cukup tahu) si artis yang berkontribusi dalam pameran ini. Gata Guruh Mahardika adalah kakak tingkat saya di kampus dan Timoteus Anggawan Kusno alias Dalijo ini saya kenal ketika saya membantu sebagai artistik panggung pementasan pantomim Trotoar oleh grup Malmime-Ja di TBY kira-kira bulan April lalu. Yah, berhubung kenal kedua artis jadi pengen lihat pamerannya kaya apa. Dan saya mengajak teman nyeni, Maya, meski awalnya rada ragu juga karena acaranya malam dan dia habis ada musibah sehingga rada cemas kalau jalan malam. Oke, tapi pada akhirnya saya berangkat juga dengannya. Tentu saja nyari tebengan mobil dan dapat juga! Nuci dan Tirta juga kenal mereka berdua dan pengen lihat. Yah, berangkatlah rombongan aneh itu ke Padepokan Seni Bagong Kussudiardja yang mana, tak kami ketahui lokasinya. (Bodoh banget kan, nggak bisa baca peta yang ada di poster saking kecilnya!)

Modal nekad akhirnya malah kesasar juga di jalan bantul. Setelah tanya orang yang mencurigakan dan mencermati peta via wikimapia akhirnya muter balik masuk ring road lagi. Jadi, kami berhenti di deket salon pijet (yang kata Tirta kayaknya salon pijat ++ gitu karena lampunya yang remang-remang dan 'gitu' banget mencurigakan), akhirnya tanya ke bapak-bapak yang ada di angkringan. Jadi, dimanakan Padepokan Seni Bagong Kusumadiardja itu? Dari jokteng barat kalau dari arah timur belok kiri masuk jalan Bantul. Ketemu ring road belok ke kanan arah UMY. Perempatan bangjo pertama yang ada toko baju Pudja harga mulai dari Rp 5.000 - Rp 35.000 belok ke kiri. Ketemu perempatan belok ke kanan, nurutin rel bekas kereta pengangkut tebu ke Madu Kismo lurus terus ketemu jembatan masih lurus, tapi jangan ngebut, agak pelan-pelan karena plang jalannya ada di sisi kiri dan agak ketutupan. Nah, ketemu plang itu masuk gang kecil ke kiri mentok masuk ke parkiran. Nanti pasti ada bapak-bapak yang mengarahkan. Dari parkiran jalan bentar deh ke barat lalu masuk gang ke selatan.

 
Nah, disana kami malah ketemu Pak Pradipto yang ternyata hendak menyaksikan anaknya yang ikut mentas teater untuk acara rutin PSBK yaitu Jagongan Wagen, judulnya Nang Ning Nung. Saya nggak nonton sih karena pada akhirnya buru-buru pulang jam setengah 9 itu. Yah, sampai di sana cukup ramai juga baik orang-orang yang mau lihat pameran dan juga mau lihat pertunjukan teater itu. Sebenarnya sampai sana sekitar jam 7 lebih masih ke kamar mandi dulu sebentar karena nahan pipis (oke, ini nggak penting sebenarnya, tapi ya sudah lah), pas naik ke lantai 2 Gedung Damar Wulan ternyata acaranya barusan dibuka dan lagi ada performen dari Arjuni Prasetyorini. Keadaan ramai banget, keblok juga oleh instalasi kaya kotak papan tulis, dan bikin saya mlipir ke area yang lebih luas sambil mulai menikmati pameran yang didominasi oleh karya Timoteus Anggawan Kusno alias Dalijo.

(fotografer : Maya Meidita)
Instalasi pertama yang saya jumpai adalah karya Mas Dalijo yang kalau tidak salah (dan saya tak lupa) judulnya adalah Cintaku tak Semurni Bensin. Di tengah galeri, beralaskan karpet rug kecoklatan ada kursi lipat besi yang diatasnya terdapat mekanisme permainan yang dihubungkan dengan kabel listrik dan saklar tunggal. Mekanis yang ada di atas itu berupa susunan botol-botol jualan bensin yang diisi berbagai macam benda random mulai dari kembang nyekar kuburan, beras, meteran kuning khas penjahit, sereh (kalau tak salah lihat) dll yang diletakkan dalam kerangka besi yang melingkar dan digantung ke kuda-kuda kayu bercat putih terekspose. Di tengah lingkaran itu terdapat pemukul yang berhubungan dengan mekanis pemutar. Ketika saklar dinyalakan, mekanis itu memutar tuas pemukul yang menimbulkan bunyi karena ujung pemukul yang mengenai permukaan botol-botol kaca itu. (Gambarnya seperti di bawah)

Instalasi oleh Mas Dalijo (foto hasil unggahan Mas Dalijo dari account FBnya) (link)





Instalasi oleh Mas Dalijo (Nuci sedang mencoba instalasi) (fotografer : Maya Meidita)
Instalasi oleh Mas Dalijo (fotografer : Maya Meidita)


Instalasi oleh Mas Dalijo (fotografer: Maya Meidita)

Instalasi oleh Mas Dalijo
Saya ketemu mas Bram, teman dari Mas Dalijo dan Mas Gata yang juga anak Mahati yang juga nyeniman. Basa basi bertukar kabar lalalala, lalu melanjutkan perjalanan melihat-lihat. Instalasi kedua juga masih karya Mas Dalijo berupa pohon jambu yang dibakar lalu diletakkan di atas bangku kursi kecil. Di bawah bangku itu diletakkan soundsistem yang entah berbunyi apa saya tak begitu menangkap karena saking ramainya di galeri malam ini. Di bawahnya lagi, ada tunggu pembakaran yang di sana terdapat berhelai-helai kertas. Ternyata, memang instalasi itu dimainkan. Jadi orang-orang boleh menuliskan keresahan, protes, keluh kesahnya di kertas lalu meletakkannya di tungku itu lalu disilahkan untuk mengambil buntalan yang digatung di pohon jambu terbakar itu, yang mana buntalan itu digantungkan di tali merah. Saya diminta Maya untuk menulis sesuatu, yang, saya tak bisa katakan apa isinya. Lalu saya mengitari pohon itu untuk memilih buntalan manapun. Putar-putar pelah-pelan, saya pikir saya pengen mengambil buntalan yang letaknya paling tinggi. Tapi entah mengapa buntalan di tengah semacam jantung pohon itu (ceileh). Pas saya buka, isinya kunci. Di situ tertulis;


| Kunci ini berkhasiat untuk membuka kotak hitam berkaki

Dan membuat saya tertawa. Lelucon macam apa ini? Kok semacam rada nyambung nggak nyambung dengan keluhan saya itu. Karena saya pikir boleh dibawa pulang, saya masukin saja ke kantong, itung-itung buat kenang-kenangan datang ke pembukaan pameran.
 
Instalasi oleh Mas Dalijo
Instalasi oleh Mas Dalijo

Instalasi oleh Mas Dalijo (Fotografer : Maya Meidita)
Kunci ini berkhasiat untuk membuka kotak hitam berkaki (Fotografer : Maya Meidita)

Geser lagi ke karya selanjutnya, yang masih juga karya Mas Dalijo. Performa sudah selesai dan orang-orang berhamburan melihat pameran. Saya lirik Mas Dalijo dan Mas Gata sedang diwawancarai wartawam mungkin. Mau menyapa tapi segan juga. Ah, biar nanti saja. Saya belum menyelamati mereka atas pameran mereka yang super sekali ini. Dalam hati saya iri juga sih. Apa ya? Semacam iri karena seseorang yang kau kenal lebih dekat kepada apa yang dicita-citakannya. Semacam meruntuki diri sendiri atas apa yang telah saya perbuat selama ini dan tak menghasilkan apapun. Yah, memang sekarang ini semua orang sedang berjuang untuk menggapai cita-cita mereka. Sedang saya akhir-akhir ini kok malah semacam nggak ngapa-ngapain, nggak memiliki hasil. Saya merasa tertinggal jauh sekali dengan mereka. Yah, meski saya sadar mereka itu keren banget dan saya bukan apa-apa, mengingat sepak terjang mereka di dunia seni selama ini. Saya bukan siapa-siapa. Dan meski mengenal mereka, rasanya malam ini saya seperti orang lain, orang yang tak mengenal mereka, orang awam yang kebetulan datang ke pameran ini, seperti orang yang kebanyakan datang malam ini. Dimata saya mereka terlampau menyilaukan, terlalu keren, levernya sudah jauh beda.


Artwork oleh Mas Dalijo (Fotografer : Maya Meidita)

Saya pun melanjutkan karya Mas Dalijo selanjutnya, ada 3 karya dalam satu rangkaian cerita. Di frame pertama ada sesok serigala (atau anjing ya maksudnya?) hitam dengan background hutan berdaun merah. Entah judulnya apa saya lupa. Di frame kedua, judulnya (kalau nggak salah ingat) Adam and the rotten Apple. Sosok 'adam' dengan kepala corong TOA duduk di sofa dan menggenggam buah apel yang busuk, backgroundnya seperti rumah yang berantakan dan si buntut anjing (atau serigala ya maksudnya) coklat nampak ekornya saja. Di frame ke tiga entah judulnya apa karena panjang banget. Di situ ada seorang berkulit coklat sedang tenggelam dalam sumur berlumuran merah (mungkin maksudnya darah) yang matanya ditutupi oleh seseorang di belakangnya. Si orang di dalam sumur itu juga menutupi mata di orang yang menutupi matanya. jadi mereka berdua saling tutup menutupi mata masing-masing. Di depan mereka genangan merah itu meluber dan ada sesesok terbakar berkulit gosong di depan serigala hitam. Entah saya saja yang terlalu memikirkannya, tetapi sepertinya keberadaan serigala itu dalam tiap frame (yah, anggap saja di frame ke 2 memang serigala coklat!) saling berkaitan. Melihat lagi frame pertama, saya menangkapnya serigala itu jadi simbol kebinatangan, naluri hewan buas, lust, yang dimiliki oleh setiap orang, yang menjerumuskan orang-orang dalam rangkaian frame berikutnya.

Artwork oleh Mas Dalijo (Fotografer : Maya Meidita)
Artwork oleh Mas Dalijo (Fotografer : Maya Meidita)
Instalasi selanjutnya, adalah instalasi video performa tarian dari mbak Arjuni Prasetyorini yang katanya takut jeruk. Di lantai berserakan jeruk dan bungkus plastik. Jeruk itu ditata membentuk kata fear. Saya nggak paham artinya sebelum pada akhirnya dikasih tahu kalau mbak-mbak ini takut jeruk. Itu semacam menjelaskan kata fear di sana. Lalu teman saya Maya tiba-tiba random bilang begini, "Entah mengapa lihat jeruk aku jadi ingat blogmu, catatan si jeruk." Saya hanya menertawakan kata-katanya itu yang nanti kalau diteruskan bisa nggak jelas ujung-ujungnya karena menyangkut konspirasi dan lain lain.

Instalasi oleh Mas Dalijo dan Mbak Arjuni (Fotografer : Maya Meidita)
Artwork oleh Mas Dalijo (Fotografer : Maya Meidita)
Jalan lagi, lagi-lagi karya Mas Dalijo. Lhoh lhoh, ini pameran tunggal Mas Dalijo po? Lalu akhirnya ketemu instalasi karya artis lain pula. Karya milik Mas Gata yang berjudul (kalau tak salah ingat) Pagar. Instalasinya adalah kotak papan tulis tinggi yang digantung ke kuda-kuda bercat putih terekspose. Papan tulis itu semacam bergambarkan DED detail pintu jendela keramik dan lain lain khas arsitektural. Dari kotak papan tulis yang kira-kira diangkat 20 cm dari lantai itu ada sepatu boots terlihat. Saya pikir ada orang di dalamnya. Tapi ketika memutari kotak itu ternyata kotak itu tak berpintu dan entah mengapa kok saya agak takut dan deg-degan mengenai apa yang ada di dalamnya. Semacam agak menakutkan gitu melihat kaki. Saya pikir paling cuman sepatu saja. Tetapi ketika saya berjongkok dan mengintip kok ada kakinya. Tambah serem saja. Lalu ada lubang kecil di kotak itu dan saya berjinjit untuk melihat ke dalamnya tapi tak begitu jelas.

Instalasi oleh Mas Gata
Instalasi oleh Mas Gata
Ketika selesai memutari 180 derajat, Nuci menghampiri saya dan bilang, "Cil, kata Dalijo (atau mas Bram ya, kok saya lupa) cuma kamu yang bisa buka kotak ini" Saya mengernyit heran. Bagaimana saya bisa buka kotak ini. Oh, ternyata kunci yang saya dapat tadi itu buat membuka kotak ini! Agak deg-degan juga sih karena saya pikir ini pasti bercanda dan gurauan saja. Tapi tetap saja saya coba buka dan kuncinya nggak bisa masuk. Ah, ini bohong! Orang nggak masuk ini kok!

Lalu pemilik instalasi ini datang dan bilang kalau kuncinya memang beli murah dan bosok jadi perlu usaha ekstra untuk memasukkan kunci ke gemboknya. Dan, voila, gemboknya bisa dibuka dan yang ada di dalamnya adalah (maaf bagi yang belum datang saya jadi spoiler nih, hihihi) boneka berkostum satpam sedang memberi hormat. Saya tertawa senang karena entah mengapa seakan kebetulan banget kenapa kok saya bisa yang dapat ini gembok dan jadi orang pertama yang membuka si kotak ini malam ini. Dan Mas Gata menyalami saya, "Selamat ya nyil, kamu jadi orang yang beruntung malam ini. Tapi kuncinya ntar di balikin lagi ya, aku nggak punya kunci cadangannya." Dan saya cuma bisa tertawa karena ternyata kuncinya nggak bisa saya ambil bawa pulang. Yah, akhirnya saya serahkan lagi kunci itu ke Mas Dalijo biar di pasang di instalasinya sendiri. hehe,


Instalasi oleh Mas Gata (Fotografer : Maya Meidita)
Instalasi oleh Mas Gata (Fotografer : Maya Meidita)
Artwork oleh Mas Gata (Fotografer : Maya Meidita)
Artwork oleh Mas Gata (Fotografer : Maya Meidita)



Selesai muter-muter lihat semua karya yang setelah instalasi kotak hitam berkaki itu adalah karya mas Gata, saya mau minta foto bareng 2 artis yang telah berkontribusi untuk pameran ini. Sebenarnya juga mau bareng mbak Arjuni, tapi dia nggak ada, menghilang entah kemana setelah performen yang memakai acara banting-banting jeruk. Jangan-jangan dia pingsan karena jeruk-jeruk yang dipakai sebagai properti performen. Entah, tapi yang pasti saya dapat foto Mas Dalijo dan Mas Gata bareng Maya. Yah, siapa tahu setelah debut mereka ini mereka akan terkenal dan susah dihubungi. Hahahahahaha,

Entah mengapa, mesem, nyengir, mesem, nyengir (dari kiri : mas Dalijo, Maya Meidita, saya, Mas Gata) (Fotografer : Bramasta)

Well, selesailah sudah malam yang ganjil ini. Oh iya, saya ucapkan terimakasih kepada Maya Meidita F yang telah jadi kontributor fotografer saya, Nuci dan Tirta, duo yang nebengin saya malam ini, hehe. Sampai jumpa di acara nyeni lainnya!

Oh iya, ini bonus dari saya, hihihi.


1, 2 3, . . . .  (saya, Nuci, Tirta) (Fotografer : Maya Meidita)



[ ]

No comments:

Post a Comment