"Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal-hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?" (Orang-orang Proyek, Ahmad Tohari)



Di sebuah obralan besar-besaran di sebuah toko buku obral di awal tahun lalu, saya tiba-tiba tertarik dengan sebuah buku yang berjudul Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari. Waktu itu, saya baru saja menamatkan bukunya yang lain yaitu Ronggeng Dukuh Paruk dan mulai suka dengan gaya penulisannya. Ketika melihat bukunya terobral murah sekali saya langsung ambil. Ah, kalau tak salah waktu itu dihargai 15.000 rupiah. Sungguh menyedihkan kalau dipikir-pikir ketika terbit mungkin bisa mencapai 40.000 hingga 50.000 rupiah. Hingga beberapa bulan lalu buku itu masih tak saya sentuh dan saya tumpuk saja di jajaran novel-novel saya. Akhirnya, selama seminggu ini buku tersebut tamat juga saya baca.



Cerita ini berlatar pada tahun awal 1990-an di daerah Jawa Barat dekat Cirebon pada masa pembangunan jembatan Sungai Cibawor. Tokoh utamanya adalah seorang Insinyur bernama Kabul, yang mantan aktivis kampus. Memahami proyek pembangunan jembatan di sebuah desa sungguh suatu perkerjaan yang membawa beban psikologis yang berat baginya.

'Pemainan' yang terjadi dalam proyek itu menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan menjadi taruhannnya dan masyarakat kecillah yang menjadi korban. Permainan yang dipunggawai oleh manajer proyeknya sendiri, yang dulu merupakan kakak angkatan dari almamater yang sama, Ir. Dalkijo. Dalkijo yang telah bersumpah tobat mlarat, berpikir prakmatis yang menghalalkan segala cara untuk mentas dari kemiskinan, termasuk menjimpit dari proyek yang sedang ia borong.

Belum lagi permasalah pribari Kabul, yang meski sudah berkepala tiga belum juga menikah. Slentingan-slentingan dari Mbok Sumeh, penjaja warteg yang membuka kedai di sekira proyek, men-comblanginya dengan Wati, seorang gadis sarjana anak anggota DPRD yang karena masih menganggur melamar menjadi sekertaris proyek. Meski awalnya tak tertarik dengan Wati, tapi Kabul mulai merasakan getaran saat melihat Wati merengut pura-pura sebal. Wati yang sudah memiliki pacar seorang mahasiswa semester 5 di sebuah perguruan tinggi di Jogja pun sepertinya ada hati terhadap Kabul.

Dengan keuangan yang compang camping akibat dipotong sana-sini dan bahan baku yang tidak standard yang disediakan oleh Dalkijo, Kabul bersikukuh untuk tetap bisa membangun jembatan sungai Cibawor dengan mutu tinggi paling tidak bisa bertahan 10 tahun. Tapi, HUT partai GLM hendak diadakan di desa itu. Teman Kabul yang menjadi kepala desa, teman mantan aktivisnya dulu, Basar, juga mau tidak mau mengalah ada idealismenya ketika muda, yang mengecam rezim partai GLM. Seorang kader GLM yang juga takmir masjid bersama Basar suatu ketika datang ke tempat Kabul untuk minta bahan bangunan guna membangun masjid yang katanay hendak digunakan sholat jumat ketika HUT GLM.

Puncak dari cerita ini adalah ketika Yos, pacar Wati datang ke proyek untuk mempertanyakan mengapa Wati menuntutnya menikahi Wati padahal tahu bahwa Yos tidak bisa karena harus menyelesaikan sekolahnya. lalu Dalkijo yang memasok besi-besi bekas jalan tol untuk pekerjaan lantai jembatan. Habis sudah kesabaran Kabul. Ia keluar dari proyek itu. Ia memilih mempertahankan idealismenya. Kepergiannya disetai tangis orang-orang proyek yang tak tahu apa-apa dibalik kepergiannya.

Bagi saya, cerita ini cukup membuat saya galau. Sebagai seorang Insinyur, sudah kewajibannya membangun bangunan dengan mutu yang sebaik-baiknya. Tetapi, sudah jadi rahasia umum bahwa pemborong sering kali melakukan kecurangan-kecurangan untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Karena, meski pekerjaan Insinyur cukup bergengsi setara dengan Dokter, tetapi bayarannya sungguh sangat jauh. Tapi apa iya, keinginan untuk mentas dari kemiskinan membuat kita menjadi mempertaruhkan hak dan keselamatan orang lain? Tapi bukankah para Insinyur yang lebih pandai dalam bidang ini berkewajiban untuk mengamalkan ilmunya dengan sebaik-baiknya, bukan malah melakukan perbuatan sontoloyo, membodoh-bodohi rakyat yang sudah bodoh?




Ah, membaca novel ini membuat saya jadi merenung, diujung waktu belajar yang tinggal sejengkal ini, saya mau jadi apa?


[ ]

No comments:

Post a Comment