Gang-gang yang sempit, rumah-rumah yang menjamur berjejalan
berebut langit, celah-celah angkasa yang sempit, hiruk pikuk penghuni rimba
belantara kampong urban, begitulah saya menyebut pemukiman padat penduduk yang
tersebar di kota-kota besar di Indonesia, bahkan di Negara-negara berkembang di
dunia.
Diantara kehidupan yang keras di jalan raya dan persaingan
untuk bertahan dalam aliran perekonomian yang makin lama makin tak stabil
karena harga bensin yang melambung, diatara geliat subuh para bapak-bapak
mencari nafkah untuk keluarga, diantara gegap gempita bisik kasak kusuk ibu-ibu
rumah tangga tiap pukul 9 pagi, diantara remaja-remaja baru beranjak dewasa,
ada bangsa anak-anak yang kehilangan tempat untuk berlarian, menghirup udara
pagi, dede merasakan matahari pagi
yang menghangatkan tubuh, dan juga lupa cara berkhayal awan langit. Ruang-ruang
yang makin sempit, bangunan-bangunan tinggi tetangga yang kaya bak pinang tak
terbantahkan menyilaukan mata, membuat anak-anak kecil maki kerdil dalam
dunianya yang terpinggirka.
Permasalahan pemukiman padat penduduk di kota-kota besar di Negara
berkembang, saya yakin, tak akan ada habisnya bila dikupas dari berbagai bidang
pendidikan. Rumit, sungguh rumit, serumit memperbaiki benang kusut. Karena,
meski sedemikian tak tertata, pemukiman pada itu telah memiliki system tersendiri
yang menggerakkan rantai kehidupan masyarakat. Saya, yang selama hidup saya
tinggal di desa, yang lahan masih luas, lapangan masih banyak, persawahan menghampar
tak terlihat ujungnya, kadang berpikir, ‘Kok bisa ya mereka tinggal di tempat
seperti ini, sesempit ini?’ orang dewasa aja susah sekali tinggal di tempat
seperti ini, apalagi anak-anak, kaum minoritas yang jadi bakal calon penerus
bangsa?!
Suatu pagi, saya berkesempatan untuk berkeliling di kampong-kampung
di sekitar jalan Braga, Bandung dan di tepi Babakan Siliwangi, untuk materi
sayembara. Keadaanya tidak jauh beda dengan kampong-kampung pinggir kali Code,
Jogja. Hanya saj, keadaannya jauh lebih sempit, dan ruang untuk bermain anak
hanyalah gang-gang sempit selebar 1,5 meter. Belum lagi berbagai harta benda
sepeda motor tetangga yang diparkir, semakin mempersempit saja ruang gerak
anak. Tapi apakah mereka tidak berhak, mendapatkan tempat tumbuh kembang dan
bermain yang layak? Apakah mereka harus ikut-ikutan memikirkan nasib orang tua
mereka yang banting tulang untuk beli susu UHT? Mereka masih kecil, masih
polos, masih terlalu naïf untuk memikirkan keruwetan hiruk pikuk hidup.
(mengingatkan saya dengan kampung di bangkok) |
(saya kaget sekaligus senang, ada pohon besar banget bertahan diantara perumahan padat itu.) |
Jalan-jalan pagi itu mengingatkan saya tentang masa kecil
saya. Saya dilahirkan di desa yang setiap rumah memiliki halaman yang luas. Halaman
rumah saya ibarat lapangan, bisa bermain apa saja. Banyak pohon untuk dipanjat,
banyak semak untuk bersembunyi, banyak rerumputan untuk sekedar tiduran dan
bergelut, banyak batu untuk bemain gatheng
dan bekel, banyak tanah untuk bermain masak-masakan, dan langit luas untuk
bermain layangan. Dan ketika menyusuri gang-gang pagi itu, saya menatap langit
yang hanya terlihat dari celah sempit antar atap lalu merasa prihatin.
| Who does respect?
Kalimat hasil vandalism anak-anak yang dibesarkan
dilingkungan yang sempit itu saya temukan di sebuah emperan took. Pertanyaan itu
menohok saya. Ya, siapa yang bertanggung jawab dengan kehidupan mereka yang ‘sempit’
dan ‘kurang’ itu? Pemerintah kah, yang rebut sana-sini cari popularitas lewat
media, sibuk keruk mengeruk menimbun lembaran-lembaran uang dan hanya ‘bersimpati’
lewat kalimat keprihatinan terhadap keadaan rakyat jelata. Atau masyarakat itu
sendiri yang karena berada dalam lingkungan yang bobrok hasil dari pembangunan
paska proklamasi kemerdekaan yang gagal? Entah, yang mana saja pasti saling
melengkapi , ibarat rantai makanan yang saling memakan satu sama lain,
kanibalisme social.
Lalu, apakah anak cucu kita dimasa kini dan masa mendatang
tidak berhak untuk bermain di ‘lahan lapang’ yang mungkin tinggal ‘sejengkal’?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment