Seorang teman saya yang, katakanlah, mendedikasikan dirinya untuk bekerja pada sebuah arsitek komunitas di Bandung, ASF-ID, mengabari saya di pertengahan  bulan November mengenai akan diadakannya workshop bambu di sebuah (cikal bakal) kampung permakultur di suatu tempat di Soreang, Bandung. Siska. Waktu itu saya ditawari untuk menjadi panitia bayangan sekaligus turut memeriahkan workshop bambu kecil-kecilan yang mereka adakan selama 2 hari 1 malam itu. Saya yang waktu itu sedang volunteering sebuah acara pameran seni di Jogja, Biennale Jogja XIII 2015 langsung mengiyakan dan tanpa banyak pikir segera memesan tiket kereta menuju Bandung. Lagipula, sudah lama sekali saya tidak pergi ke Bandung.


Padi itu ketika saya di jemput oleh Siska di Kiara Condong, adzan subuh baru saja dikumandangkan. Tetapi, pasar di sebelah telah ramai sekali oleh berbagai manusia, penjual dan pembeli, tukang becak, tukang angkot, tukang asongan, tukang apapun itu yang tumpah memenuhi jalan yang kami belah untuk mencari angkot menuju base-camp ASF-ID. Sesampainya di base-camp, beberapa orang yang akan ikut serta di workshop bambu itu sudah berdatangan, sebagian tidur. Beberapa diantaranya ternyata adalah anak arsitektur UII dan seorang adalah senior saya di kampus, tetapi saya tak sempat mengenal dia karena ketika saya masuk dia mungkin saja telah lulus. Sisanya, adalah teman-teman arsitek di Bandung, yang hari itu baru saya kenal.



Perjalanan menuju Soreang cukup jauh. Lebih tepatnya menuju ke arah Kawah Putih. Rasa-rasanya sudah bertahun-tahun sejak saya pertama kali pergi ke Kawah Putih bersama teman-teman Quartoz masa itu. Dari naik angkot akhirnya kami turun di pom bensin untuk menunggu mobil jemputan. Dan perjalanan ekstrim menanjaki perbukitan di Soreang itu kami lalui dengan perasaan ketar-ketir di dalam mobil Range-Rover pick up terbuka. Rasa-rasanya seperti sekelompok tentara yang sedang di kirim ke medan pertempuran di tengah hutan. Ah, mungkin terlalu berlebihan ya kalau dibilang seperti itu.


Siang itu, para mamang-mamang ahli bambu lokal sudah memasang tenda untuk memulai pekerjaan. Dan kami yang begitu awam ini soal bambu, rasa-rasanya hanya ngerecokin mereka saja. Ah, tapi, sekali ini saya benar-benar belajar bagaimana meraut bambu, menggergaji (yang walaupun pada akhirnya menyerah karena bambunya keras dan super liat), dan membuat satu bagian saja. Bergiliran dengan teman-teman kelompok lain, siang hari itu saya sudah cukup puas dengan mencoba meraut bambu dan membuat pasak bambu sebanyak-banyaknya. Jelas saja, konstruksi bambu ini tak akan selesai hanya dalam waktu dua hari saja. Ah, ngana kira ini candi prambanan dan saya raden mas Bondowoso?






Malamnya, setelah selesai makan malam, kami bercengkrama sembari berdiskusi. Mang Gungun, selaku pemrakarsa kampung permakutur di Soreang itu mempresentasikan mengenai cita-citanya mengelola kawasan kebun sayur dan buah secara permakultur, sebuah kampung mandiri yang dapat mensuplai kebutuhan para anggota di dalamnya akan buah dan sayur, serta tempat para anak kota macam saya dan teman-teman lain belajar bercocok tanam. Siska dan Take mempresentasikan mengenai gagasan Fukuoka Masanobu mengenai natural-farming. Lalu dilanjutkan dengan menonton film yang diputar tak sampai selesai karena masing-masing orang yang telah mengantuk.



Paginya, pelajaran singkat mengenai permakultur dari mang Gungun dimulai sekitar pukul 8 pagi. Kami berjalan-jalan mengitari area permakultur yang baru dicobai beberapa tanaman saja, mengunjungi pengelolaan limbah kotoran yang diubah menjadi bio-gas dan digunakan untuk memasak di pondokan kami, dan menengok bagaimana mas Gungun bereksperimentasi dengan bedengan-bedengan tempat menanam buah dan sayur.




Siang itu kami melanjutkan membantu mamang-mamang ahli bambu membuat beberapa jenis bagian bambu. Saya menyaksikan bagaimana mereka menggunakan tulangan besi untuk menghubungkan potongan-potongan bambu yang kemarin kamu potong dan raut. Ujung dari tulangan besi itu dikunci dengan mur. Tidak banyak yang dapat kami lakukan karena kami harus segera beranjak dan berkemas untuk kembali ke Bandung. Para anak-anak UII itu mengejar kereta di Kiara Condong sebelum magrib.


*

Saya rasa, bukan hanya akhir-akhir ini, tetapi beberapa tahun belakangan ini, sudah banyak sekali orang-orang kota yang mulai memiliki keinginan untuk kembali dan tinggal di desa. Bukan hanya sekedar memiliki rumah singgah saja di pedesaaan, tetapi benar-benar pindah ke desa untuk tinggal dan menghabiskan sisa kehidupannya untuk bercocok tanam. Memang, mungkin bagaimanapun juga dalam darah manusia Indonesia mengalir darah manusia bercocok tanam, yang memproduksi dan menghasilkan kebutuhan sehari-harinya sendiri, tidak seperti sekarang yang semua-mua serba beli. Ah, pantas lah itu banyak sekali produk-produk luar yang masuk ke Indonesia, karena betapa konsumtifnya manusia Indonesia akan segala jenis barang-barang.

Lalu, sejenak keluar dari aktivitas hiruk-pikuk kota yang serba tergesa dan basa-basi ini, saya tertegun mendapati betapa alam luar biasa penuh dengan sumber yang bisa diberdayakan ini, dan begitu menentramkan berada di antara hijaunya pemandangan yang menghampar ini.


---

updated 27 Desember 2015

Sudah lebih dari 2 minggu sejak saya kembali ke Jogja. Semua bagian bale-bale itu telah dirakit dan dinaikkan. Para mamang ahli bambu itu bekerja keras ditengah hujan yang sepertinya tak henti-henti mengguyur Soreang.




---

update 1 Maret 2016

Sudah Dua bulan lebih sejak struktur didirikan. Mungkin hujan menajdi kendala yang utama. Tapi akhirnya, selesai juga pembuatan balai-balai di lereng bukit area permakultur yang dikelola oleh mas Gungun.




[ ]


Saya tidak memiliki hak cipta terhadap semua foto yang ada di dalam postingan ini, kecuali foto nomor empat dari yang terakhir. Semua foto diambil dan dimiliki oleh Andrea Fitrianto, Uzie Fauzia Anniza dan ASF-ID.



No comments:

Post a Comment