Di sebuah pernikahan, aku termenung mendapati kamu duduk menunggu ijab dikabulkan. Hari ini, aku merasa sangat pangling melihatmu dalam baju kabaya putih yang sangat sederhana, sesederhana kehidupan kita selama ini. Aku tak tahu kalau kamu bisa jadi se-manglingi seperti ini, seperti saat ini. Kamu hanya tersenyum menunduk ketika aku menatapimu dari deretan bangku-bangku yang disusun di depan rumahmu. Menunggu ijab.

Ingatanku membawaku ketika pertama kali kita berkenalan. Kapan ya itu? Aku lupa! Tahu-tahu, setiap pagi kamu sering sekali menyapaku, kadang-kadang mengajak makan siang atau makan malam di warung makan rumahan yang tersebar di dekat kosanmu. Kalau ada uang lebih, kita kadang pergi ke restoran di dekat jalan raya, hanya untuk sekedar numpang ngobrol sambil memesan menu paling murah.

Seingatku, kita jarang sekali mengobrol mengenai diri kita masing-masing. Ah, iya, itu karena, aku bukan orang yang ada dalam lingkaran pertemananmu. Aku hanya orang yang kebetulan sering kau temui di sebuah tempat dalam jangka waktu yang cukup lama. Aku tak tahu kalau kamu tak bilang kau punya kakak perempuan, atau kau pernah berpacaran dengan adik kelasmu semasa SMA sampai kita semester dua, atau kau yang ikut teater di luar kegiatan kampus, atau kau yang suka sekali mendengarkan musik-musik orkestra sampai kadang-kadang dibela-belain beli tiket konser tugas akhir SMSR tiap tahunnya. Aku tidak tahu dimana tempat tinggalmu yang sebenarnya, kau bilang Semarang maka aku cukup puas dengan jawaban itu, meski saat kemarin aku hendak berangkat menuju upacara pernikahanmu, aku baru tahu kalau kau bilang Semarang itu adalah bohong. Rumahmu jelas-jelas saja jauh dari Semarang, menjelang perbatasan sepertinya. Kamu juga tak pernah bilang kapan hari ulang tahunmu yang ternyata berdekatan dengan hari ulang tahunku. Iya, kamu tak pernah bilang. Begitu pula aku.

Aku tergagap ketika semua orang-orang yang menghadiri ijab itu serentak mengatakan syah.
"Syah!"
"Syaaaahhhh!"
"SYAH!"

Aku kembali melemparkan pandanganku kearahmu yang tersenyum lebar dalam ketertundukanmu. Lalu aku melihat, juru rias mengajakmu bangkit dari dudukmu untuk menuju laki-laki yang telah syah menjadi suamimu. Lama aku pandangi adegan itu dalam diam. Hei, kau tahu? Bahkan aku tak kenal siapa lelaki yang duduk di sampingmu itu manakala seorang wanita bersanggul molek mengerukupkan kerudung berenda putih diatas kepalamu dan laki-laki itu.

Aku selalu bertanya tanya pada diriku sendiri tanpa mau mengatakannya padamu. Dari sekian banyak laki-laki yang mendekatimu, yang sebagian besar aku tahu mereka dengan baik, mengapa laki-laki yang tak kukenal ini yang menjadi pilihanmu? Aku tak pernah mempertanyakan keputusanmu, atau hal-hal yang kau percayai, atau tindakan-tindakan yang tak kuketahui. Tidak pula aku meragukan hal-hal yang menrut hematmu, adalah hal-hal yang baik untuk dirimu. Bagiku, aku tak cukup dekat bila dibandingkan dengan teman-teman dalam lingkarmu itu, untuk mempertanyakan dan menuntut jawaban atas semua hal yang kau lakukan tanpa aku pahami alasan dan tujuan yang ingin kau capai.

Semua orang berdiri ketika prosesi itu selesai. Aku membeo dengan ikut berdiri sementara kau dan laki-laki itu digiring untuk masuk lagi ke dalam rumah. Sejenak, pandanganku bersitatap denganmu. Dan kau hanya tersenyum anggun lalu kemudian tertunduk dengan senyuman yang tiada habis-habisnya.

Pesta pernikahanmu siang itu begitu ramai, oleh orang-orang yang tak aku kenal yang berpakaian sederhana, kadang beberapa terlihat mencolok dengan padu padan warna yang norak, kerabat-kerabatmu mungkin, atau kerabatnya kerabatmu. Aku bosan sembari hilir duduk di dereta kursi yang paling dekat dengan kipas angin dan melihat orang-orang mengantri tak rapi di deretan bangku makanan. Orang-orang yang lapar dan jarang makan makanan kondangan. Membuatku malas untuk mengambil jatahku.

Akhirnya aku harus pulang tanpa sempat mengucapkan selamat atas pernikahanmu karena waktu yang sudah mepet. Besok aku ada meeting pagi bersama tim proyek. Sementara, orang-orang yang tak kukenal memenuhi antrian untuk bersamalan denganmu, menyelamatimu lalu berfoto bersama. Untungnya, kamu tak sengaja mengarahkan pandanganmu kepadaku dan aku hanya memberimu isyarat aku harus segera pulang sembari menunjuk jam tanganku dan mengatakan bahwa aku akan meneleponmu segera. Kamu hanya mengangguk kecil sembari tersenyum dan mata yang berkaca-kaca, berbinar karena haru dan senang.

Aku bohong ketika aku bilang aku akan menghubungimu segera. Yang ada, aku begitu menikmati kesibukanku dan terus menunda-nunda untuk berkabar denganmu.


*


Tahu-tahu, beberapa bulan pun berlalu dan aku menemukan pesan singkatmu lewat email yang terdampar di folder spam. Kita memang lebih sering bertukar kabar lewat email dibanding melalui media lain. Kau bilang, email memang kalah romantis dibanding dengan surat. Tetapi, lewat tulisan-tulisan yang panjang kita lebih leluasa bertukar rindu melalui kata-kata yang telah terseleksi.

Tapi emailmu itu email seminggu lalu.

Aditya,
Aku ingin berpamitan denganmu. Minggu ini aku akan pindah ke suatu tempat yang tak akan kamu ketahui. Aku tak mau bilang dimana, gimana dan mengapa. Dan, aku sangat menyesal tidak akan bisa datang ke acara pernikahanmu bulan depan. Maaf ya, setelah ini, pun sepertinya aku akan jadi teman yang sangat tidak baik. I miss you, and I will always miss you.
See you again when I see you.
Salam,
Aria

Aku terdiam. Sejenak tidak ada hal-hal aneh yang hinggap di pikiranku. Aku langsung mengambil handphone-ku dan mengetikkan sms ke nomormu bertanya mengenai emailmu. Pesan singkat itu terkirim. Tapi kamu memang tidak langsung membalas sms itu. Aku tahu kamu jarang sekali membuka handphone-mu. Jadi, aku pun menunggu.

*

Tapi, sejak smsku itu tidak kau balas selama berhari-hari, aku mulai cemas. Ah, mungkin juga beban kerja dan pernikahan yang sebentar lagi membuatku sedikit stress. Hingga aku memutuskan untuk menelepon nomormu. Berkali-kali panggilanku tidak tersambungkan, nomormu tidak aktif katanya. Lalu timbul prasangka mengenai emailmu itu. Apa memang benar, kamu berpamitan padaku seperti ini?

Berhari-hari, aku menghubungi teman-temanmu. Sebagian dari mereka bilang, mereka tidak tahu mengenai perihal kepindahanmu entah kemana itu, lebih tepatnya, kamu tidak memberi tahu mereka. Ada beberapa orang yang kamu pamiti, tapi lagi lagi mengatakan bahwa mereka tidak tahu. Hanya satu orang yang bersikap aneh ketika aku bertanya kamu pindah kemana. Ia hanya bilang bahwa kamu pindah untuk selamanya.



*

"See you again when the blue sky collapses."

[ ]



No comments:

Post a Comment