(Typically Tokyo suburb)

Pagi itu di pinggiran kota terasa tenteram. Saya dan Yaya berjalan menuju stasiun Aobadai melewati landskap perumahan di pinggiran Tokyo yang berbukit-bukit. Matahari Desember memang terik, tapi tanpa panas yang berarti. Kami berpisah di Shibuya setelah saya membeli tiket sekali jalan untuk hari itu. Teman saya yang saya tumpangi itu hendak pergi ke Kampus di hari Minggu. Sungguh sayang sekali tetapi bagi saya, jalan-jalan sendiri malah lebih menyenangkan dan tak menarik perhatian.
Tujuan pertama tentu saja Shibuya. Selfie dan berfoto sepuasnya di simpang paling terkenal di Jepang. Dulu saya cuman bisa membayangkan macam apa tempat ini lewat komik, tapi tiba-tiba rasanya semperti meloncati dimensi yang berbeda dan saya sudah ada di dalamnya.
(Ordinary Monday morning in Shibuya)

Bergegas dari Shibuya saya menuju Harajuku sembari berjalan kaki. Mampir sebentar di Yoyogi Park lalu menuju Takeshita-dori. Ada satu hal lucu yang saya sadari ketika memasuki kompleks Yoyogi Park. Pada semester 2 saya di jurusan Arsitektur UGM, saya masuk ke dalam kelompok studio arsitektur dari Pak Ikaputra yang waktu itu mengambil nama kelompok Kenzo Tange. Kami sempat membahas karya-karya Kenzo Tange yang salah satunya adalah Yoyogi Park Stadium. Sometimes it is funny, how universe connects the past and the future, right?





Setelah puas berkeliling Yoyogi Park, saya langsung menuju Takeshita-dori yang itu tuh Harajuku banget. Sepanjang jalan banyak orang-orang ber-cosplay. Banyak toko-toko menarik yang rasa-rasanya pengen masuk untuk lihat-lihat. Tapi mengingat waktu dan kantong yang cekak, saya cuman mampu membeli crepes yang saya nikmati sembari berjalan menuju omotesando-station dan drooling melihat bangunan-bangunan di sepanjang bukit yang foto-able banget.
(takeshita-dory at my first)

(Banana cream crepes)
Sebenarnya, ada banyak jalur menuju ke Tokyo Skytree dari omotesando. Tapi saya yang malas ini langsung deh naik satu jalur yang muter-muter dan lebih lama tetapi tak perlu ganti kereta dan langsung turun di stasiun Oshiage stasiun yang ada di bawah Tokyo Skytree. Malam memang turun terlalu cepat di bulan Desember dan sampai-sampai di Tokyo Skytree, saya melewatkan sunset. Padahal kayaknya bagus banget kalau bisa sunset-an di kompleks ini.

(One fine evening at Roppongi Hills)
(Just bellow Tokyo Sky tree)
(Strolling around Tokyo Sky tree and it was already night)
Tujuan selanjutnya setelah Tokyo Skytree adalah ke Nakagin Tower. Teman saya bersikeras saya harus ke Nakagin Tower karena ada isu beredar bahwa Nakagin Tower akan dihancurkan karena usianya yang lebih dari 20 tahun dan sudah tidak layak untuk ditinggali lagi. Itu berarti dari Oshiage saya harus menuju Ginza. Iya, Ginza yang terkenal banget karena glamor dan penuh Yakuza. But, it was not really something like that tho. Yang saya temui malah jalanan yang begitu lengang hampir tak ada orang satu pun yang berjalan kaki. Ya kalau dibandingkan dengan Tokyo Skytree yang ramai pengunjung.


(Ginza illumination)

Meski gelap-gelapan sampai di depan Nakagin Tower dan hanya foto sekiranya. Jujur saja. Saya agak paham manakala pemerintah Jepang mempunyai rencana untuk menghancurkan Nakagin Tower. Keadaannya yang begitu tak terawat menurut saya juga jadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan kualitas hidup yang ada di sana. Memang saya tidak masuk, tetapi dari luar terlihat masih ada beberapa kamar yang lampunya menyala menandakan bahwa ada orang yang menghuni salah satu ruangan diantaranya. Hanya saja, mungkin agak disayangkan bila rencana penghancuran Nakagin akan dilaksanakan tahun depan. Bagaimana pun, saya agak ngefans juga dengan gerakan Metabolisme arsitektur Jepang yang muncul bersamaan dengan gerakan Archigram di Eropa.
(Gloomy Nakagin)

(Just bellow Nakagin) Please pardon my bad quality camera.


Berjalan kaki dari Nakagin Tower, saya menyempatkan untuk jajan di kombini untuk sekedar beli onigiri sembari menuju Tokyo Tower yang kata peta, aksesibel dari Nakagin Tower berada. Well, di Jepang google maps sungguh sangat membantu. Bahkan jadwa kereta pun tepat dan akurat!

Ketika melewati Higashishinbasi dan berbelok ke kanan (itu kalau kata peta lho) saya terkejut karena pemandangan ujung Tokyo Tower yang sudah terlihat. Setengah tergesa saya mempercepat langkah saya untuk menuju Tokyo Tower. Jantung saya berdebar. Entah mengapa soundtrack yang terputar adalah sountrack Ma-kun di dorama Jepang, Tokyo Tower.


(Tokyo Tower at its finest) *crying* *happiness overload*

Waktu itu, ketika memandangi lampu-lampu gedung yang ada di bawah menara pandang 1 Tokyo Tower, saya berpikir sembarangan, Oh, God, sekarang saya bisa mati dengan tenang. Tapi buru-buru saya membuang pikiran itu. Pemandangan seperti ini rasanya addicted sekali. Saya masih ingin berkeliling dunia melihat berbagai macam hal. Memang kata Soe Hok Gie, orang yang paling beruntung adalah orang yang mati muda. Tetapi, mati muda dan tak melihat apa-apa pasti akan sangat membosankan.


*

Extra from me.
OST of Tokyo Tower Drama.




[ ]

No comments:

Post a Comment