"Jiwa kita adalah rumah tanpa jendela pun pintu, anehnya kita pasti bisa keluar untuk berlarian di padang rumput, membebaskan tubuh kita, dan menyanyikan lagu para ilalang."



Saya pikir ini takdir. Jadi, saya sebenarnya telah lama ingin beli novel ini, Rumah Lebah. Beberapa tahun lalu, saya melihat buku ini terpampang di sebuah toko buku kecil langganan saya di Wonosari, perlu digaris bawahi, di toko buku satu-satunya di Wonosari waktu itu! Saya melihatnya di jajaran novel baru. Tapi waktu itu saya sedang tak punya uang dan saya tak jadi beli. Berminggu-minggu saya ndeleki novel ini sambil mengumpulkan sisa uang jajan yang masih di bawah standar sangu minimal. Entah kunjungan keberapa, saya dapati novel itu telah terjual. Saya kecewa.

Lalu, beberapa hari lalu ketika saya sedang iseng main ke bazar buku Gramedia, saya menemukan novel ini dalam tumpukan buku-buku terbitan gagasmedia yang terobral 10k saja. Langsung, saya ambil novel ini. Saat itu rasanay saya beruntung banget, semacam takdir, saya dipertemukan kembali dengan novel ini. Kalau jodoh, pasti bertemu kok. Eh, salah fokus.

Tentang novel ini sendiri, berkisah tentang seorang anak kecil yang dicap aneh, bahkan setengah indigo, bernama Mala. Mala tinggal bersama kedua orang tuanya, Nawai dan Winaya di sebuah rumah di kaki perbukitan Putri Tidur, di sebuah vila di dekat danau. Mala dicap sebagai anak berjiwa ganjil meski memiliki kecerdasan diatas rata-rata anak normal. Di rumah itu, tanpa di ketahui Nawai dan Winaya, hiduplah 6 orang asing yang keberadaannya disaksikan oleh gadis cilik genius berjiwa ganjil itu. Keenam orang itu adalah abuela, seorang wanita tua berwajah patriarki berbahasa spanyol yang terobsesi pada kebersihan dan keteraturan, Wilis si laki-laki berkulit hijau dan berambut ganggang yang selalu berwajah sedih, Satira si gadis cilik nakal yang selalu menjahili Mala, Ana Manaya seorang perempuan penggila dua gemerlap, dan juga si kembar alter yang tahu segalanya tetapi tak dapat berbicara. Mala dapat melihat segalanya yang dianggap Nawai dan Winaya sebagai imajinasi masa kecil yang akan hilang ketika dewasa. Ia melihat apa yang tak diketahui dan tak dilihat orang. Atau tepatnya, tak boleh ada seorang pun yang mengetahui itu semua. Sebab, itu justru akan menjadi gladi kotor kematian bagi sang ratu lebah. Sosok yang seharusnya tak boleh diganggu keberadaannya.

Novel ini sungguh menarik. Sungguh alur ceritanya tak dapat ditebak. Sesuai dengan dugaan saya bertahun-tahun lalu, novel ini pasti bagus. Dan terbukti benar, novel ini memang jempolan. Dan saya merasa beruntung karena dapat membaca novel ini setelah penantian bertahun-tahun. Saya pribadi, menyarankan novel ini bagi pecinta serial thriller. Keren banget pokoknya.

Oke, sampai jumpa di review buku selanjutnya.

No comments:

Post a Comment