Dalam rangka, hari ulang jadi Indonesia yang ke-68, saya ingin mengulas sedikit tentang tanah air Indonesia tercinta yang meski banyak bobrok di sana-sini. Saya bukan orang yang nasionalis banget, bukan pula yang anti-nasionalis. Tapi sesekali, boleh dong bangga dikit dengan apa yang dimiliki. Setidaknya, kita meng-klain hak kita sebelum orang lain meng-klaim menjadi miliknya.

Nah, saat saya sedang mempersiapkan sebuah sayembara nasional di kantor tempat saya magang 2 bulan ini, saya berkenalan dengan istilah ini, Cakrawala Mandala Dwipantara. Wuis, keren banget kan istilahnya. Dan karena ke-keren-an istilah ini membuat saya kepikiran selama beberapa hari.

Indonesia (sumber : Universitas Texas)


Beberapa diantara kita familier dengan kata nusantara yang gagasannya pertama kali dilisankan oleh sang patih Majapahit, Gadjah Mada, dalam sumpah Palapa-nya. yang intinya tidak akan bersenang-senang sebelum menakhlukkan nusantara di bawah bendera Majapahit, pada tahun 1336. Nusantara ini, adalah istilah yang dipergunakan dalam geografis kerajaan Jawa kuno untuk menyebut pulau-pulau takhlukan yang ada di luar pulau Jawa, pusat kerajaan Majapahit. Nusantara berasal dari dua kata sansekerta yaitu nusa yang berarti pulau dan antara yang berarti lain/sebrang. Secara harafiah, nusantara bermakna pulau sebrang.

Konsep kata 'nusantara' untuk menyebut kepulauan Hindia Belanda -baca: Indonesia-, yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantara pada tahun 1920-an. Penggunaan istilah 'nusantara' ini dipergunakan untuk mengganti sebutan 'Oost-Indie' -baca: Hindia Belanda- karena dirasa penamaan oleh Belanda itu tidak sesuai dengan Indonesia saat itu. Penggunaan nama Indonesia, yang dipopulerkan oleh ahli etnologi Inggris, George Samuel Windsor Earl pada tahun 1849 dalam sebuah jurnal ilmiah, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Yang meski waktu itu 'nusantara' disebut sebagai 'Indunesia'. (selengkapnya bisa dibaca di link ini)

Terlepas dari perkembangan setelahnya, saya malah tertarik membahas sejarah sebelum kata 'nusantara' itu mulai dipergunakan. Karena, belakangan, para sejarawan mempercayai bahwa konsep 'nusantara' ini, bukannya pertama kali dicetuskan oleh patih Gadjah Mada. Tetapi, hampir setengah abad sebelumnya pernah dicetuskan oleh raja Kertanegara dari Singhasari, Kediri. Wacana ini diusung dalam rangka menanggapi gerakan akresif dari Kerajaan Mongol Dinasti Yuan yang ingin melakukan ekspansi ke selatan. Gagasan ini dipahatkan pada bagian belakang arca Camundi yang dikeluarkan oleh Maharaja Kertanagara pada tahun 1270 Masehi.

Cakrawala Mandala Dwipantara sendiri, berasal dari 3 kata dalam bahasa sansekerta. Kebetulan meski telah saya search diman-mana, dan saya tak ahli bahawa sansekerta dan jawa kuno, saya menggunakan KBBI untuk mencari arti kata cakrawala dan mandala. Saya yakin, kedua kata yang familier di telinga saya itu memang ada di KBBI dan arti dalam bahasa sansekerta serta arti dalam bahasa Indonesia tidak jauh berbeda.

Kosakata Cakrawala telah diserap dalam bahasa Indonesia yang memiliki beberapa arti. Dan dari beberapa arti tersebut, saya memilih arti ke-4 yaitu yaitu kaki langit, tepi langit, batas pemandangan, horizon, dan arti ke-5 jangkauan pandangan. Diantara kedua arti tersebut, kurang lebih saya simpulkan memiliki arti batas jangkauan. Kata Mandala dalam KBBI ada 2 pengertian, dan saya memilih yang pertama, yaitu bulatan; lingkungan (daerah).Dwipantara berasal dari 2 suku kata dwipa dan antara. Dwipa merupakan sinonim dari kata nusa. Jadi kurang kebih, dwipantara berarti kepulauan sebrang di luar Jawa. Nah, meski memakai bahasa yang sama, saya masih belum paham mengapa Raja Kertanegara menggunakan istilah Dwipantara dibandingkan dengan Nusantara, dan ini menjadi misteri bagi saya.

Nah, dari pemaknaan satu-persatu kata-kata diatas, saya menyimpulkan, secara harafiah, Cakrawala Mandala Dwipantara memiliki arti batas wilayah kekuasaan kepulauan sebrang di luar Jawa. Atau, dapat dimaksai sebagai wilayah kekuasaan yang meliputi kepulauan-kepulauan yang ada di seberang Jawa.


Sejarah membuktikan, selama berabad-abad lamanya, wilayah kepulauan Indonesia, yang hijau membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai pulau Rote, bak sebuah kalung Zamrud yang dironce oleh Khalik. Coba deh, buka google earth atau google maps tapi versi yang satelite, trus cari Indonesia. Kekayaan alamnya tak terkira, baik yang sudah dieksplor dari jaman Kerajaan Kutai, ditambang nggak habis-habis oleh VOC di Sumatera dan diangkut ke Eropa, hingga yang sekarang masih ditambang Free Port di Papua. Lo pernah ngebayangin nggak sih men kalau Indonesia itu kaya banget! Saking tajirnya, sampai 7 turunan juga nggak bakal habis. Trus kita hitung deh, dari jaman kerajaan Kutai -yang sudah tercatat dalam sejarah- sampai era Free Port, udah berapa turunan? Trus udah habis belum? Kalau kau tahu jawabannya, maka kau tahu yang saya maksud, kan.


Sadly said, we know about it, and we don't care. Ibarat kalau pepatah lama, kita seperti tikus yang berada di lumbung padi. Saking banyaknya, kita nggak tahu seberapa banyak, dan kurang peduli dengan apa yang dimiliki. Ah, sedekah ke orang lain deh, kasihan mereka. Tapi, lama-lama kan yang namanya orang sudah dikasih hati masih aja mau ampela kan. Makanya, di warteg-warteg, ati-ampela jadi satu, biar orang nggak nanya, 'Bu, ampelanya mana ya?'. Lhoh, malah nglantur.

Well, terlepas dari bagaimana Indonesia yang sudah-sudah, dan Indonesia yang juga kok malah jadi kaya sirkus keliling, kita perlu dong, mengetahui sejarah masa lalu. Memang benar, yang lalu biarlah berlalu. Tetapi alangkah baiknya kalau kita mampu mengambil pelajaran dan kesimpulan dari hal-hal buruk dan baik di masa lalu, sebagai pemicu untuk terus berprestasi tanpa pamrih, demi bangsa dan negara, demi para leluhur yang telah menumpahkan darah untuk menyatukan nusantara, demi nenek moyang yang telah memerdekakan Indonesia, demi pembangunan yang (diupayakan) ada di segala bidang, dan demi tanah air tumpah darah tempat kita berdiri jadi pandu ibu pertiwi.


Selamat merayakan 17 Agustus 2013!
Selamat semangat 68!
Merdeka!!


1 comment: