(Waiting for you by jjap on deviantart.com)



“It was over almost a years ago.” Kataku dengan suara berat, sambil memunggungimu. Aku tak mau berdebat lagi karena pembelaanmu atas kalimatku. Mati-matian aku meredam amarah yang bergemuruh di dadaku sambil memejamkan mata dan mengeratkan gigiku. Di depan sana orang-orang yang kita kenal sedang sibuk mempersiapkan buka puasa.
“But, it isn’t!?!” kau bersikeras. Aku diam, mengeratkan gigiku lebih erat lagi. Aku bisa merasakan nyeri di pangkal rahang belakangku.
“Lalu apa yang kau inginkan dariku sekarang?” tanyaku dengan nada tinggi tapi terdengar dingin. Aku mati-matian menata napasku, masih memunggungimu.
“Let me fix it!
Aku berbalik dan menatapmu garang. Kau sedikit gentar meneruskan pembicaraan ini.
“Memperbaiki apa? Tak ada yang rusak. Tak ada yang pernah rusak.”
Kau menatapku nanar. Aku menatapmu dengan amarah yang terpendam. Sejenak aku dan kau hanya berdiri dalam diam, saling berperang dalam tatapan masing-masing. Aku menghela napas, bukan merasa kalah, tapi aku memutuskan untuk mengalah.
“Sudahlah, aku tak menginginkan apapun darimu. Pertanggung jawabanmu itu malah semakin memberatkanku. Kita tak pernah memulai sesuatu dengan benar dan malah membiarkannya berjalan seperti ini. Tak ada yang perlu diperbaiki. Kita hanya perlu keluar dari skenario ini.” Kataku mencoba tenang sambil membuang pandanganku darimu.
Kau masih menatapku nanar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.
“Jika di masa muda ada hal yang tak berjalan sesuai rencana, sudah sewajarnya demikian. Tak ada yang perlu kau tanggung sendirian, karena masing-masing dari diri kita menanggung apa yang telah kita perbuat di masa lalu.” Kataku sambil berjalan memutari tempat kita berbicara.
Aku berjalan melewatimu, meninggalkanmu diam. Seperti biasa, tak bisa menjawab kata-kataku. Tapi tiba-tiba kau menahanku dengan meraih tanganku. Aku berbalik dan kau sedang menggenggam pergelangan tanganku. Aku hanya tersenyum lemah dan dengan sekali sentakan melepaskan tanganmu.
“Maaf, aku hanya . . .”
Kau kehilangan kata-kata untuk memperkuat alibimu dan aku hanya tersenyum seadanya.
“Ayolah, bung! Kita bukan anak kecil lagi, yang akan menangis merengeki mainan yang telah ketinggalan jaman. Semua orang sudah menunggu. Jangan seperti bocah. Dewasa,lah!”
Aku berbalik dan berjlan lagi.
“Aku akan menunggu!” ujarmu dengan suara yang bergetar. Aku bebalik dan menatapmu tak mengerti.
“Aku akan menunggumu sampai kau kembali kepadaku.” Ujarmu sambil menatapku dengan matamu yang tajam tapi hitamnya begitu teduh. Matamu yang pernah membuatku terpesona. Tapi tidak kali ini.
Aku tersenyum kepada diriku. Andai kau katakan itu bertahun-tahun lalu, andai bukan kau, andai bukan kita, andai orang-orang yang ada di depan sana bukan mereka, aku akan dengan senang hati berteriak padamu, kalau aku menunggu kata-katamu itu. Tapi itu dulu.
“Cinta tak akan menunggu!” ujarku sambil tersenyum lalu berbalik meninggalkanmu menuju orang-orang yang sedang sibuk membakar daging ayam itu, teman-teman­.



‘Aku akan menunggumu sampai kau kembali kepadaku.
Katakan itu kepadaku beberapa tahun lalu, dan aku akan kembali kepadamu saat itu.

No comments:

Post a Comment