Balada Sebuah Bokong
Sindhunata
A girl with a breast
gadis dengan
buah dada
itulah nama
Inggris
bagi Inul
Daratista
Semula Inul
hanya pendangdut kampong
asalnya desa
Kejapanan, Gempol Jawa Timur.
Kini Inul
melambung di awal global
bahasanya
bukan lagi Jawa tapi Inggris.
Pewawancaranya
bukan lagi tabloid local
tapi Time, majalah International
Ketika
ditanya, kenapa
sampai MUI
berfatwa,
haramlah
goyang ngebornya
Inul
menjawab dengan cerdas, katanya:
The MUI
should realize that Indonesia
It’s not a
Moslem country, it’s a democratic country.
Ya, mengapa
di Negara demokrasi ini
bergoyang
mesti dilarang atas nama Negara?
Dari mana
datangn kuasa yang memastikan
ngebor itu
berdosa, hingga patut dilakuan
hanya oleh
orang yang berdosa?
Inul bilang,
meski ngebor ia tetap rajin bersalat doa
seperti
wanita saleh layaknya.
Akan
kesalehannya kiranya oleh orang boleh percaya;
dari namanya
Inul adalah gadis yang bertakwa
pada
kerahiman Allah
ya, sebelum
beralih jadi Inul Daratista
namanya
adalah Ainul Rokhimah.
Ainul itu
sumber, Rokhimah itu rahmat
Ainul
Rokhimah kaulah sumber kerahmatan Allah.
Lagi ia
ditanya, mengapa orang meributkan bokongnya?
Jawabnya, “the real threats to Indonesias fragile
morality,
Particularly corrupt officials, are too
dangerous to attack”.
Memang di Negara
ini lebih mudah ribut soal bokong ngebor
daripada
memejahijaukan dan memenjarakan koruptor.
Goyang
erotis dirazia, predator miliaran rupiah dibiarkan saja.
Waria jadi
target operasi, legislator dibiarkan mandi
di kolam money politics dan korupsi.
Di Negara
ini seks mudah jadi kambing hitam kemunafikan moral
semata-mata
untuk menutupi kekotoran dan kebiadaban kekuasaan.
Dan apakah
arti sebuah bolong di panggung
sampai ia
dilihat seperti gunung
sementara
uang yang bergulung-gulung
dalam
prostitusi berselubung
dari mereka
ang kaya, yang bertelanjang ria dalam pesta Caligula
yang bermain
seks di Pajero Goyang sepanjang jalan Jakarta
yang ciak
susu sebagai menu sarapan pagi di hotel mewah
dibiarkan
merajalela?
Ya, apa arti
goyang bokong seorang pedangdut desa
dibanding
dengan segala sex undercover mereka yang berpunya?
Maka dengan
bahasa keterbukaan globalnya
yang
membongkar kedok kemunafikan manusia,
“Why should they care about me
When there are pornographic VCD
And prostitutes in the street?
They choose me because I am an easy target.”
Hidup Ratu
Inul! Di Irak kata rakyat,
ada pasukan
berani mati
di Indonesia
ada pasukan birahi tinggi
dipimpin
Ratu Inul, melemahkan rudal-rudal lelaki
melawan
pasukan berani lari
pimpinan
para politisi, pengusaha dan militari.
Ratu Inul,
Bokongmu harus jadi abadi
tersimpan
sebagai prasasti di museum MURI
untuk
menandai, bahwa Negara ini pernah terjadi;
semua
perkara besar tertunda hanya karena bokong
semua janji
dan harapan sirna hanya karena bokong
negara yang
tinggi dengan gunung-gemunung,
luas dengan
samodra, membentang dengan daratannya
tiba-tiba
menyusut menjadi sebuah bokong belaka.
Inul,
republic kita memang hanya republic dangdut
kaulah
ratunya, dan bukan lagi Rhoma Irama.
Terkurung
dalam sebuah bokong inilah hubungan kita
yang
terpenjara dalam belenggu zaman edan.
Menurut
tembang Jawa, beginilah kata-katanya:
Sinome kang gara-gara
Nuswantara gonjang-ganjing
Panjerit ing pra kawula
Akeh kang samya ngungsi
Tawur bangsa pribadi
Ilang kamanungsanipun
Donga ora tumama
Dhikir ora maedahi
Apa itu kang sinebut zaman edan
Dosane zaman semana
Keh manungsa pada lali
Panguasa kanggo gadha
Politik kanggo ngapusi
Murka mring ekonomi
Hokum dadi ajur mumur
KaKaEn ngambra-ambra
During ana den adili
Wiwit mlethek zaman reformasi total.
Di zaman
edan ini
jauh sebelum
Ainul Rokhimah
belajar
menari
Di Solo mbah
Ranto Gundel sudah menulis puisi
tentang
Alengkadiraja yang dimakan api.
Oleh Rahwana
Sinta dicolong
oleh seorang
kera ia ditolong
dalam lakon
Anoman Obong
yang membuat
Alengka kobong.
Nyanyian
mbah Ranto jadi ramalan di siang bolong
kobong
menjadi bokong
bokong
menjadi kobong
kobong ada
di dalam bokong
bokong ada
di dalam kobong.
dan
pedangdut lainnya di Purawisata atau Gembiraloka
menyanyikan
Anoman Obong,
E la dhalah
Ngalengka diobong
Togog Biling
padha pating ndhomblong,
pada saati
itu bergoyanglah bokong-bokong
malam penuh
bokong
Tubuh-tubuh
menyentuh bokong
peluh-peluh
menetes bokong
dan rakyat
pun berteriak bagai serigala melolong:
Kobong,
kobong, kobong, kobong
Kobong,
kobong, kobong, kobong
Lama-lama
teriakan itu terpeleset menjadi bokong:
Dan kobong
pun tenggelam dalam bokong
Kobong,
kobong, bokong, bokong,
Kobong,
kobong, bokong, bokong,
Bongkobongkobongkobongkobongkobongkobong,
Bokong,
bokong, bokong, bokong, bokong, bokong
Bokong,
bokong, bokong, bokong, bokong, bokong
Kobong
menjadi bokong
Bokong sama
dengan kobong
Tiada lagi
beda antara kobong dari bokong
Bokong pun
menjelma menjadi api
maka meletuslah
Tragedi Mei.
Api padam
setelah reformasi
namun sejak
saat ibu, budi kita pun mati
bukan dengan
pekerti kita berpikir
tapi dengan
bokong kita menaksir
dan kita pun
jadi bangsa yang pander
Anoman obong
adalah ramalan
yang menjadi
kenyataan.
Mei lima
tahun lalu dari hari ini
Jakarta dan
Solo kobong jadi lautan api.
Tapi
ingatlah, zaman edan
telah juga
membuat kobong menjadi bokong.
Kendati
sudah lewat kobong,
masih juga
kita hidup dari bokong,
berdebat
denagn bokong
berkuasa
dengan bokong
menutupi kemunafikan
dengan alasa bokong
pura-pura
suci anti bokong.
Syukur
datang seorang gadis kampong
membuka
kemunafikan kita yang terselubung.
Miyak warana, itulah berkah yang dibawa
oleh
kelahiran Aiul Rokhimah
Dan tirai
kepura-puraan kita pun dibuka
oleh bokong
Inul Daratista:
Ya Allah,
mengapa mesti bokong
yang menjadi
cerminan hidup kami?
Dan bokong
itu pun menjadi rembulan
lalu langit
penuh dengan bokong berbintang,
terdengar di
sana nyanyian Daratista
lirih
seeperti suara Zarathustra,
katanya, “Bila
keluhuran dan kemuliaan telah hilang,
kenistaan
dan dosa pun mesti menjadi petunjuk dan jalan
menuju
kesempurnaan dan kesucian.” ++
Karang Klethak, Kemis Pahing 5 Mei 2003
-----
Sinom Gara-gara
dikutip dari karya Ki Manteb Sudharsono
*
Tulisan Romo
Sindhunata ini diketik ulang dari buku ‘BOROBUDUR AGITATAIF, Seni,
Inter-Kosmologi, Magelang” diterbitkan oleh Gallery Langgeng Magelang.
*
Dalam hemat
saya, Borobudur Agitatif (bersama beberapa program lain yang diselenggarakan
oleh Gallery Langgeng Magelang) adalah sebuah proyek seni untuk menghidupkan
kota Magelang menjadi salah satu kota seniman, bukan untuk menyaingi Jogjakarta
tetap menjadi alternative referensi seni bagi seniman manca maupun dalam negeri
serta turis, dan saling menguatkan kedua kota tersebut, seperti keberadaan
Merapi Merbabu.
[ ]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment