Sejatinya, dunia ini hanyalah sebuah panggung raksasa, yang
membentang dari timur dan bertemu di barat. Dan kita, manusia-manusia,
jejelmaan hewan, tetumbuhan, saling terkait dalam sebuah rangkaian cerita drama
yang tak kunjung habis-habisnya, kecuali, memang telah disampaikan pada
penghabisannya.
*
Saya bertemu sebuah fragmen ini, di sebuah buku yang begitu
tua, yang telah lama terbitnya, dengan sampul yang begitu sederhana tanpa
ilustrasi. Sebuah buku, kumpulan bunga rampai sastra belanda tentang kehidupan
di Indonesia. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Djambatan pada tahun 1979, dan
dicetak ulang pada tahun 1985. Sejatinya, Bianglala Sastra, ini adalah sebuah
buku yang ditulis kembali oleh Dick hartoko berdasarkan Oost Indische Spiegel
karya Rob Nieuwenhuys.
*
[ Sepenggal fragmen pada Bianglala Sastra halaman 234-236. ]
Kelir
Di layar putih yang disinari oleh hariMu bergeraklah
bayangan Insan.
Kulihat mereka dan kutahu, bahwa mereka bukan mereka.
Kulihat diriku sendiri, wajahku dan tanganku: dan kumaklumi, itu bukanlah aku.
Pada kelir dunia yang hiruk pikuk ini bergeraklah manusia sebagai
wayang-wayang: mereka mencintai dan mengasihi, mereka membenci dan meremehkan;
tetapi segala daya upaya mereka hanya daya upaya bayangan dan kefanaan yang
hampa. Kami adalah bayangan pada kelir waktuMu; kami Kaupegang dalam tanganMu
di dalam cahaya KeabadianMu. Kami berbicara tentang perjuangan dan penderitaan,
tentang kemenangan, tentang tamat dan duka cita. Tetapi, dalam terang cahayaMu
semuanya bernama Cinta dan itulah sebabnya seluruh hidup ini merupakan satu
rasa rindu dendam untuk digerakkan oleh tanganMu di dalam cahaya TerangMu yang
bernyala-nyala, pada layar putih duniaMu yang hiruk pikuk ini.
Lampu Blencong
Bila Kaunyalakan lampu blencongMu, mulailah Misteri
PertunjukanMu pada layar terang; sebidang penuh cahaya dalan Gelap GulitaMu
yang tak ada dasarnya.
Puspa ragam diletakkan dalam bokor persembahan, semerbak
kemenyan dan gong menjadikan pertunjukanMu pesta kehidupan yang kramat. Dila
Launyalakan lampu blencongMu, dunia kami menjadi terang: dan akulah sebuah
wayang pada layar alam ciptaanMu. Dan ketika tiba saatnya, aku Kauangkat dalam
tanganMu dan dengan demikianlah aku muncul di muka layar duniaMu. Lampu
blencongmu menyinari aku: badan ini adalah bayanganku, tetapi aku sendiri
dipegang tanganMu. Ajarilah aku menyesuaikan diri pada tanganMu, karena aku
tidak tahu bagaimana harus bergerak. Ajarilah aku mengerti suaraMu, sehingga
aku tahu, bagaimana harus bertutur. Ajarilah aku mengetahui kehendakMu,
sehingga aku tahu bagaimana berdiam diri. Waktu ini singkat ; hidupku ini hanya
berlangsung selama beberapa detik di dalam cahaya blengcongMu yang bernyala
penuh rahasia dari kekal sampai kekal. Katakanlah siapa dan apa aku ini, agar
aku mengenal suka dan dukaku, cinta dan rasa benciku sebagai sesuatu dari
diriku sendiri, sehingga sambil tertawa dan menangis kulakukan kehendakMu.
Wayang
Gusti, jadilah aku sebuah wayang dalam tanganMu.
Biarlah aku menjadis eorang ksatriya atau pun raksasa, saja
atau orang hina, pohon, tumbuhan, binatang ………. asal aku menjadi sebuah wayang
dalam tanganMu. Lalu, entah aku perkasa dalam perang, entah kecil bagaikan
seorang kanak-kanak yang main-main di bawah pohon beringin, aku akan memakai
bahasaMu. Hidupku di bumi ini penuh jerih payah dan perjuangan, dan aku
ditertawakan oleh lawan-lawanku yang banyak itu. Ejekan mereka lebih cepat kena
sasaran daripada anak panah berbulu ;
kata-kata mereka lebih tajam daripada mata keris. Perjuanganku belum selesai.
Dan nanti aku Kausingkirkan dan aku berbaring bersama-sama wayang-wayang yang
lain yang peranannya sudah selesai. Aku bersama dengan ribuan yang lain di
dalam kelam. Dan perjuanganku belum selesai ; - lawan-lawanku masih
menari-nari.
Duh, Gusti, jadilah aku sebuah wayang dalam tanganMu.
Lalu seratus atau seribu tahun lagi, tanganMu akan
menggerakkan aku kembali. Lalu, pada suatu ketika, bila waktuku sampai pada
KeabadianMu, aku Kauangkat kembali dan kembali aku berbicara dan berperang. Dan
pada suatu ketika nanti, lawan-lawanku akan bungkam dan raksasa pun akan rebah.
Ya Tuhan, jadilah aku sebuah wayang dalan tanganMu.
*
Pada akhir fragmen ketiga, saya kembali teringat sebuah
prosa lama yang bu Sarah sering ucapkan bertahun-tahun lalu.
All the world's a
stage,
And all the men and
women merely players
[ ]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment