*

“Aku benci kota ini.”


Setelah keheningan yang terjadi di antara kita semenjak kita bertemu di depan gerbang sekolah kita sore tadi, akhirnya kau angkat bicara. Suaramu itu terdengar dingin dan mendendam.

Sudah beberapa tahun sejak kita tidak pernah bertemu. Ada-ada saja yang kau jadikan alasan untuk mengelak. Aku tahu kau pulang setiap kali ada kesempatan, mengunjungi ibumu, menengok pantai-pantai kesukaanmu. Kembali ke kota ini adalah hal yang pasti, karena sejarahmu terikat di tempat ini. Entah, apa yang menggerakkanmu mengiyakan ajakanku. Mungkin karena kau rindu membicarakan hal-hal yang kita impikan. Tetapi lebih mungkin karena pertemuan terakhir kita sewaktu aku mengunjungi ibukota.

Sekolah kita itu telah dirombak habis-habisan. Tidak ada lagi yang tersisa dari reruntuhan gedung dan lorong-lorong yang kita susuri setiap hari dulu. Tidak ada lagi hawa melankoli, yang ada adalah asing. Aku sama sekali tidak sedih, meratapi gedung-gedung tua yang telah jadi gedongan. Aku hanya mencoba memutar ulang ingatan yang jauh, tetapi gagal. Sepertinya kau juga tak merasakan sentiment yang sama denganku, jika kutilik ekspresi wajahmu yang datar memandangi taman yang indah di tengah-tengah deretan kelas-kelas.

“Kenapa?” tanyaku pada pernyataanmu itu. Aku tak menemukan alasan bagiku untuk membenci kota ini. Memang ia kecil dan hampir-hampir tak berubah. Oh kau lihat kan, kita masih menemui toko alat tulis yang sama di dekat jembatan itu, yang sering kita datangi jikalau koperasi sedang tak menjual bolpoin pilot biru kesukaanmu itu. “Masa’ kau benci tiap kali pulang ke rumah?” tambahku.

“Tidak. Aku selalu senang pulang.” Jawabmu menyangkal. “Tetapi ketika aku berkendara di sini, aku selalu rindu untuk segera pergi.”

Aku ingin mengatakan sesuatu, meyakinkanmu bahwa tidak ada yang salah dengan kota ini, bahwa sentimenmu itu tidak beralasan. Tetapi aku diam karena aku tak menemukan kata-kata yang tepat untuk menyangkalmu.

“Itu ya mengapa kau tak mau ke luar rumah jika kau sedang pulang ke kota ini.”

Kau menoleh menatapku, lalu membuang muka karena menemukan kebenaran dalam setiap kataku.

“Teman-teman mencarimu.” Tambahku sembari mengais-ngais ingatan dari masa lalu ketika kita berjalan melewati sebuah tempat yang dulu adalah bekas lapangan upacara. Di tempat itu dulu kita pernah berulang kali dihukum saat upacara bendera.

“Kau tahu kan, kalau aku sudah tidak menemukan kecocokan apapun dari diri orang-orang itu? Aku tak mau menemui mereka hanya untuk obrolan basa-basi.” Jawabmu.

“Kau tahu ini.” Tambahmu setelah jeda beberapa saat.

Kau berhenti di bawah ring basket yang dipepetkan ke sisi lapangan, tidak berada di tempatnya. Kau menatap keranjangnya yang telah tiada. Aku bertanya-tanya apakah kau mencoba mengingat-ingat kenangan kita bersama teman-teman di tempat ini. Saat-saat kita dulu masih suka bermain basket sembari menanti senja. Dulu bagiku senja beriringan dengan permainan three on three, tapi kini aku cukup bahagia hanya dengan menyesap kopi sembari menanti sindrakala.

“Masih main basket?” tanyaku iseng. Dulu kau yang paling mencintai permainan itu. Aku hanya ikut-ikut saja karena kau dan teman-teman yang menginisiasi duluan. Kupikir melakukan apapun bersama kalian akan sama menyenangkannya.

“Masih.” Jawabmu. Aku cukup terkejut dengan jawaban itu. “Aku menemukan komunitas basket di tak jauh dari tempat aku tinggal. Setiap Jumat malam kami berkumpul dan bermain full team.”

Aku mengangguk. “Sejak tahun kedua perkuliahan, aku dan teman-teman tak pernah basket lagi.” Timpalku.

Aku lupa tepatnya mengapa hal ini terjadi. Kupikir karena kami mulai sibuk dengan kuliah, tetapi nyatanya kami masih saja rutin nongkrong di angkringan di belakang sekolah tempat biasanya, lalu berpindah ke rumah salah satu teman kami hingga seterusnya dan saat ini. Mungkin, kami lama-lama hanya bosan. Itu saja.

“Hei.” Ujarmu membuatku sadar kita telah terdiam agak lama di hadapan ring basket. Langit timur semburat biru tua dengan rona-rona jingga.

“Akhir tahun ini aku berangkat ke Amsterdam.”

Aku menatapmu sembari mencoba mencerna kalimatmu itu. Kekagetan dan ketakjuban menyergapku membuat aku tergagap.

“Wow! Selamat! Aku senang mendengarnya. Ini hasil dari beasiswa yang kau ceritakan waktu aku ke Jakarta?” tanyaku sembari merekahkan senyum.

Kau tersenyum kecil dan mengangguk.

“Akhirnya! Sudah kubilang kan, kau memang sudah sepantasnya mendapatkannya! Kau telah bekerja keras untuk mewujudkan impianmu!” tambahku. Aku terharu, sungguh. Kau yang tak pernah mengeluh bekerja sembari mengusahakan impian terbesarmu untuk sekolah keluar negeri itu, tidak ada yang pernah tahu. Kebanyakan orang memandangmu sebagai siswa teladan yang mulus-mulus saja kuliah hingga mendapat pekerjaan. Tetapi diam-diam aku tahu, kau tak pantang menyerah menghalau segala rintangan yang ada di depan matamu.

“Apakah angkringan langganan kita di sudut pasar itu masih buka?” tanyamu tiba-tiba.

“Masih. Kau mau kesana?” tanyaku balik.

“Aku ingin bercerita kepadamu sembari makan di sana.”

Dalam perjalanan menuju ke angkringan yang hanya kau dan aku ketahui itu, aku memikirkan ini. Tahun depan aku mungkin tak bisa lagi bertemu denganmu, mungkin juga tahun-tahun mendatang. Mendadak aku menjadi paham mengapa kau membenci kota ini. Dan aku pun teringat kepada tawaran kerja yang berasal dari seorang teman di Bali yang belum aku putuskan. Bali saat ini terdengar begitu menarik. Aku pikir mungkin nanti aku akan meminta saranmu, hanya untuk sedikit sudut pandang lain, meski dalam hati aku telah menentukan.

Tiba-tiba kota ini terasa begitu asing. Lalu lalang jalan penuh dengan orang-orang yang hendak berbuka puasa, juga para pemudik seperti kita. Dan aku tak pernah merasa sesepi ini.


*



[ ]

No comments:

Post a Comment