Begitu Singkat Waktu di Jakarta. Dalam perjalanan dari ibukota ke Soeta.

*

Percakapan mengenai kepergian ke Jakarta bermula dalam sebuah group. Waktu itu kami masih menunggu hasil pasti dari sayembara yang kami ikuti. Bulan Februari lalu, ketua tim kelompok dadakan, Eka anak 2012, diemail mengenai keberhasilan kami masuk shortlisted yang mana membuat kami merencanakan ke Jakarta untuk datang ke malam penganugerahan hasil sayembara di pertengahan bulan April.

Sayang, waktu itu saya sudah terikat janji untuk berangkat ke Taiwan selama satu bulan itu. Visa dan tiket sudah diuruskan oleh Mbak Yo dan saya pun masih tidak tahu mau berangkat atau tidak. Lebih karena keadaan keuangan yang sedang cekak dan kemungkinan pulang tidak membawa apa-apa setelah mendatangi Jakarta. Tetapi, belakangan saya pikir ada baiknya untuk menambah relasi karena di acara itu pasti banyak berdatangan orang-orang penting di dunia arsitektur yang mungkin akan berefek positif pada masa depan. Sembari melihat-lihat tiket Taiwan-Jakarta-Taiwan, pesan itu pun datang.

"Kalau kita nggak juara satu, aku nggak mau berangkat ke Jakarta ya!"


Kira-kira saya bilang seperti itu di dalam group sembari bercanda kepada Eka dan Nita yang sudah pasti bisa berangkat. Mereka tahu saya pergi ke Taiwan bulan itu, jadi sudah seharusnya makhlum kalau saya enggan pergi karena sayang duit.

Tak seberapa lama dari ucapan saya itu, nama kanal percakapan itu berganti nama. Dan saya serta Nita heboh karena mengira Eka bercanda. Yang terjadi adalah saya harus menggenapi ikrar saya itu.

*

Tentu, berita ini membuat mbak Yo dan mas Bege juga heboh, sekaligus memberikan saya selamat. Padahal kalau saya boleh bilang, kalau bukan karena Nita dan Eka, mungkin saya tak akan pernah bisa memenangkan sayembara yang sejak di kampus bikin saya penasaran. Dulu sekali saya pernah ikut dengan tim panitia KKA Architecture for Humanisme, tetapi gagal karena terlalu cetek. Sebenarnya sebelum bergabung dengan tim Nita dan Eka, tim lama saya itu saya ajaki untuk sayemabra ini. Tetapi karena jarak jauh, semua orang pada akhirnya tak sanggup dan saya pun bisa dikatakan berpaling. Eka getol sekali mengajaki saya meski saya tolak waktu itu. Saat ini saya bersyukur saya memilih keputusan yang tepat di waktu yang pas. Hampir saja Eka mau mengajak anak lain tapi di hari itu saya mengkonfirmasi kesediaan saya dan tim kami pun terbentuk.

Yang paling mendebarkan adalah mengurus Visa untuk masuk kembali ke Taiwan. Pasalnya, Visa yang diuruskan itu hanya untuk single entry. Saya pun kembali mengontak travel agency yang dimintai tolong mbak Yo untuk menguruskan Visa Taiwan kami. Karena Indonesia tidak mengakui kedaulatan Taiwan, maka tidak ada kedutaan besar Taiwan di Jakarta. Saya sebenarnya juga sudah mencari-cari bahwa Visa Taiwan Re-Entry dapat diurus secara online dan bebas biaya. Hanya saja saya khawatir saya tak sempat mengurus dalam 24 jam.

Pagi itu setelah saya mendarat di Soeta, saya mengontak Travel Agent untuk mengkonfirmasi saya telah tiba di Jakarta dan ia bisa mulai menguruskan Visa saya. Sembari menunggu naik bus menuju ke tengah kota dan juga mampir Trans Mart untuk membeli oleh-oleh yang titipan, saya menunggu. Sebelum sore itu saya sampai ke tempat menginap Nita dan Eka, Visa Re-Entry saya sudah terbit. Malamnya dengan tenang saya melenggang bersama tim menuju ke ballrom Ritz-Calton untuk Awarding Dinner Night.

Selepas tengah malam saya sudah sibuk berkemas lagi untuk berangkat ke Soeta. Pesawat saya berangkat sebelum subuh dan meski Jakarta saat malam tidak macet, saya cemas saya akan telat. Malam sehari setelah kembali ke Jakarta, Jack dan mas Bege menjemput saya di stasiun. Mereka mengajak saya makan malam di luar, sekalian menjemput saya. Ternyata, sampai di restaurant yang dimaksud, semua teman-teman Shih'er Liao ada di sana. Mereka memberikan saya selamat dan kami merayakan kemenangan saya itu dengan meriah.

Sesaat di kereta pulang dari Taipei ke Zhunan, kota kecil paling dekat dengan Shih'er Liao, saya merasa sangat lelah karena perjalanan yang begitu cepat. Tetapi disambut teman-teman seperti itu, saya pun jadi bersemangat. Malamnya kami pulang ke pondokan dengan bahagia. Jack mengeluarkan koleksi liquor miliknya. Saya memilih untuk minum teh madu bunga yang biasanya diseduh di kantor Jack. Teman-teman yang lain menikmati racikan bartender dadakan malam itu.

Up in the Air between Kuala Lumpur - Taipei


*


For more about this proposal, please find this link below.

Proposal Project for FuturArc Prize 2018.
Reviving the Thousand Rivers. Urban Pixelate Project.

[ ]


2 comments:

  1. Replies
    1. Thank you mbak andin, udah tahun kemarin mbak, tapi ternyata masih di draft belum ke publish. Hehehehehehe, biar deh meski telat

      Delete