“Selamat pagi!” sapaku kepadamu yang meregang menggeliat di hadapan daratan yang tetutupi semburat awan. Matahari masih belum muncul, ini masih pukul 4 pagi. Kau terlihat terkejut mendapatiku berdiri di sampingmu sambil memegang cangkir steinless berisi kopi yang masih panas. Kopi itu mengepul bersatu dengan udara dingin pagi sekaligus menggodamu dengan aromanya yang memabukkan. Udara dingin sekali membuat wajahmu memerah karena darah yang terpompakan ke pipimu.

“Selamat pagi.” Jawabmu sambil menggosok-gosokkan tanganmu pada lengan.

Aku mengulurkan cangkir kopi itu kepadamu dan kau tersenyum malu-malu kepadaku sambil menerima kopi itu. Kau menutup mata sambil menghirup aroma kopi dan kau terlihat sangat menikmatinya. Lalu kau menyeruputnya dikit-dikit karena masih agak panas. Kau mengerjap-ngerjap agak kepanasan lalu menyerahkan cangkir itu kepadaku.

“Pagi sekali kau bangun. Yang lain masih tidur di tenda, kan?”

Kau mengangguk bersemangat lalu mencondongkan tubuhmu ke arahku.

“Sssttt, jangan keras-keras! Kau bisa membangunkan mereka!” bisikmu kepadaku. Aku terkekeh pada leluconmu.

“Kau tahu mengapa aku memaksa kalian semua untuk ikut naik gunung bersamaku pada hari ini?” tanyamu dengan kerling jenaka. Aku menggeleng saja. Kau tahu, aku selalu suka matamu yang begitu hidup itu, kadang berkilat marah jika kau marah, kadang sendu ketika kau sedih, dan kadang tertawa ketika kau sedang senang. Matamu itu bahkan lebih ekspresif daripada wajahmu!

Kau menoleh ke kanan dan ke kiri seolah ada orang yang sedang mengintai kita berdua. Aku mengikuti gerakanmu dan tak menemukan siapapun. Tingkahmu membuatku ingin tertawa, terlihat mencurigakan tapi aku ikut berdebar menanti apa yang hendak kau lakukan. 

Kau mengambil sesuatu dari dalam saku jaketmu lalu membenarkan lipatannya. Benda itu adalah sebuah pesawat kertas berwarna merah muda. Aku menatapmu penuh pertanyaan tetapi tak mengatakannya. Kau sibuk membenarkan lipatan kapal terbang kertas itu, melirikku sesekali sambil menyeringai bahagia. Aku menanti apa yang hendak kamu lakukan sambil bertanya-tanya apa kertas itu.

Kau selesai dangan kesibukanmu lalu membawa pesawat itu ke hadapanmu dan meniup ujungnya pelan-pelan. Pada hitungan ketiga, kau melemparkannya ke hamparan daratan di bawah sana. angin berhembus semilir menerbangkan pesawatmu itu jauh, jauh sekali sampai hilang diantara kabut awan di bawah sana.

“Apa itu?” tanyaku.

Kau menoleh kepadaku dan mencondongkan tubuhmu lagi. “Su.rat cin.ta.” ujarmu sok misterius.

Aku tertawa tak percaya kepadamu. Tapi kau tidak menyanggah atau mengiyakan, malah ikut tertawa bersamaku. Lalu aku diam, kupikir kau tak bercanda barusan.

Lalu tiba-tiba ada yang merasukiku, mungkin karena efek kurang tidur, lelah, dingin, dan kopi. Aku meraih tanganmu yang dingin dan membuatmu menatapku heran. Jantungku berdebar keras sekali memompakan darah ke wajahku. Aku menelan ludah susah payah.

“Kenapa tak kau berikan saja surat itu kepadaku?” tanyaku dengan nada canggung. Aku was-was menanti jawabanmu. Meski aku mengutuki diriku mengapa aku sebegitu bodoh mengatakannya di tempat ini. Aku melengos karena malu.

Lalu kau berjinjit lalu berbisik di telingaku.

“Sepertinya suratku tersampaikan.”

Aku menatapmu yang nyengir lebar ke arahku dengan muka yang berseri-seri.




*ditulis sambil mendengarkan Gunung dan Laut Payung teduh

No comments:

Post a Comment