Between King Lands and Easteroes. Croz Papershot.

*

Sebelum lebaran tahun ini, saya mendapati sebuah cuitan di Republik Twitter yang kira-kira begini;

"Budaya mudik mungkin dilanggengkan bukan karena keinginan untuk pulang bertemu sanak keluarga. Tetapi lebih pada alasan untuk pulang sembari membawa pencapaian-pencapaian dirantau. Yang sekolah pulang membawa ijasah dan prestasinya. Yang bekerja membawa benda-benda materialistis yang mampu terbeli. Yang sudah berkeluarga membawa kesuksesannya berumah tangga, istri dan anaknya."

*) mohon maaf, saya sudah merunut tulisan siapa yang saya baca itu, tetapi masih belum ketemu.

Saya termenung memahami kalimat itu dan jadi berkaca pada diri sendiri.

*


Mungkin beda, bagi sebagian orang memaknai lebaran, apalagi yang ada di perantauan. Saya mungkin tak dapat memahami sentimentil ini karena kalau mau saya bisa pulang seminggu sekali bahkan lebih sering. Mudik Lebaran sama seperti mudik-mudik saya yang lain. Hanya yang berbeda adalah saudara-saudara dari luar kota yang berdatangan, dan kami pun saling mengunjungi.

Jika sudah begitu, meski dibilang sudah masuk dalam generasi anak cucu yang sudah dewasa, saya kadang lebih memilih menemani sepupu saya yang masih anak-anak, bermain perang-perangan dengan mereka menggunakan mainan yang dibawa dari rumahnya di rantau. Entah, saya pikir pembicaraan basa-basi yang tak saya sukai atau mau pahami itu membuat suasana lebaran menjadi masam, bagi saya pribadi. Atau sebenarnya saya saja yang sudah sok-kota hingga gojek kere tak lagi nyambung.

*


Tetapi, ada satu hal yang paling saya sukai dari Lebaran setiap tahun, pergi ke rumah biyung, nenek buyut dari pihak ibunya-ibu saya. Saya menghabiskan masa kecil saya bermain di rumah biyung bersama saudara sepupu favorit saya, yang sebenarnya sih, harusnya saya panggil sebagai om dan tante karena awu-nya lebih tua mereka. Rumahnya tidak seberapa jauh dari rumah kedua orang tua saya yang masih satu pekarangan dengan nenek, anak pertama biyung. Sak plintengan kalau kata orang jaman dulu mendeskripsikan tempat yang begitu dekat. Biyung juga nenek favorit saya, bukan karena dia lebih sayang kepada saya atau apa, tetapi karena ia begitu lucu dan berjiwa muda untuk seumurannya.

Biyung sudah menjanda sejak saya masih duduk di kelas 4. Saya masih ingat mbak buyut kakung sakit-sakitan di masa tuanya, hingga akhirnya beliau meninggal. Saya sudah agak lupa kenangan bersama mbah buyut kakung, tetapi dia dulu suka mendongengkan cerita perang. Ya, biyung lahir beberapa tahun sebelum kemerdekaan. Ia anak sebatang kara yang diasuh oleh kakek dan neneknya. Her father was never in the picture, I guess. Dari cerita, ia mengaku ia dulu sangat cantik. Ia dipersunting oleh seorang tentara PETA muda, mbak buyut kakung, saat biyung masih remaja. Mereka memiliki 5 anak, mbah putri debagai anak pertama mereka adalah ibu dari ibu saya.

Konon, ketika masa-masa G30S/PKI, mbah buyut kakung menjadi salah satu yang dicurigai menjadi bagian dari PKI. Mungkin karena ia adalah simpatisan partai itu. Ia tidak dicatat sebagai bagian dari veteran PETA yang membantu kemerdekaan dan perang-perang setelahnya. Sampai mati, ia yang dengan bangga menceritakan perjuangannya, tak pernah diakui oleh negara. Tapi bagi biyung, mbah buyut kakung, adalah tentara yang gagah berani.

Setelah kematian mbah buyut kakung, biyung tinggal sendiri di rumahnya. Ia tak mau diajak tinggal bersama salah satu anaknya. Lebih tepatnya ia tak mau pergi dari rumahnya dan mbah buyut kakung. Masih sampai dua tahun lalu, ia gemar pergi ke ladang untuk mengumpulkan rumput sebagai pakan kambing yang ia pelihara di samping rumah. Ia juga mash kuat untuk mengumpulkan kayu bakar dan berjualan tempe berbungkus daun jati. Bukan karena anak-anaknya tak mau mengurusnya atau apa, tetapi ia menolak segala bentuk tawaran untuk dibantu. Ia dengan tegas mengatakan ingin mandiri sementara ia masih mampu dan sehat.

Ia yang seperti itu, suka sekali mendengarkan campursari. Kadang di malam minggu, ia datang ke rumah saya untuk mampir mengobrol sambil wedangan. Kalau ada siaran wayang atau campursari, kami menonton bersama. Jika lagu campursari yang ada di TV terdengar familiar, ia bangkit dan ikut menari. Kami yang bersamanya kadang tergelak dan menyoraki. Bukan, bukan menyoraki karena mengejeknya, tetapi kami menyoraki karena kami merasa senang ia begitu penuh kemudaan dan vitalitas hidup. Tak pernah saya temui seorang seumuran dia, memiliki semangat hidup yang begitu tinggi dan mandiri. Itulah, mungkin yang membuat biyung jadi favorit saya dibanding simbah-simbah saya yang lainnya.

*



Seharian setelah ujung kepada bapak dan ibu, serta simbah kakung dan simbah putri, saya dan adik saya pergi ke rumah biyung. Di rumah masih banyak tamu berdatangan, tetapi saya belum bertemu biyung hari itu. Sepertinya dia tidak pergi Shalat Ied di masjid seperti tahun-tahun lalu. Di rumahnya itu, mendadak saya rindu pada banyak hal. Karena tidak ada menu opor, saya mau makan di rumah biyung. Apalagi dia kemarin membuat jadah. Saya pun memesan jadah goreng  dan tempe bacem bikinan biyung saya. 




Seharian itu saya di rumah biyung, mengobrol sembari duduk di karpet dan menonton TV, melewatkan saudara-saudari yang berdatangan ke rumah. Ah, tapi tak masalah. Bersantai seperti itu bersama biyung lebih menyenangkan dari pembicaraan basa-basi yang harus saya siapkan kalau di rumah.

*



Malamnya, saya membuka pesan balasan ucapan Lebaran yang tadi siang saya kirim.

"Sama-sama ya. Semoga menjadi awal bagi masa depan yang lebih baik."


Termenung menatap awang-awang, saya mengkira-kira, bagaimana mengisi lembaran-lembaran hari setelah ini.


[ ]

No comments:

Post a Comment