Saya kira ia telah berhasil bertahan selama satu tahun belakangan, hingga pada akhirnya menyerah dan tak berfungsi lagi.


*

Lost in Taipei. Before departure to Jakarta.
16 April 2018. ILFORD SFX ASA 200/36 Fresh, expired in 2020

Semuanya dimulai ketika di tengah-tengah April dua gulung rol film saya kembali dalam keadaan kosong, nothing had been encaptured in each frame. Setelah sekian lama saya merasa patah hati karena tak mendapati hal-hal yang ingin saya kenang dalam tiap jepretan. Saat itu saya tidak punya firasat apa-apa, bahwa dalam kurun waktu satu tahun, ia akan disfungsi. Yang saya tahu, saya harus kembali pada  metode paling analog dengan mengandalkan rasa dan kalkulasi mengatur rana dan bukaan secara manual. Dan begitulah, beberapa gulungan film setelahnya selama saya bepergian, nyatanya tak bermasalah sama sekali.

The Secret Garden. Frog House Bamboo's Project for Shih'er Liao Land Art Festival.
24 April 2018. Fomapan ASA 100/36 Fresh Expired in 2020

*


Saya masih ingat bagaimana saya menemukannya. Waktu itu akhir tahun 2014, musim dingin di Fukuoka terasa sangat nyata bagi saya yang tak pernah mengalami suhu yang lebih rendah daripada 10 derajat Celcius di puncak gunung Merbabu. Saya sedang berjalan-jalan ke sebuah pasar loak di depan Kuil Hakozaki yang saya tandai akan dapat saya nikmati 3 kali selama saya tinggal di Kyushu. Saya iseng, menghampiri sebuah mobil terbuka tempat seorang Oji-san menggelar lapak kamera-kamera lawas.

Dari dulu saya selalu tertarik dengan fotografi. Tapi saya tak punya kemewahan untuk memiliki lebih dari sekedar kamera saku. Kamera plastik lain cerita. Selama sekitar dua tahun bergulat dengan uji coba kamera imitasi lomo, saya cukup familiar dengan analog. Sementara DSLR, saya hanya sebatas puas meminjam teman yang menganggap saya cukup pantas untuk membidik dan memotret secara berkala. Teman-teman saya bilang saya memiliki bakat jadi seorang fotografer. Tapi dalam hemat saya, saya hanya sedikit lebih peka saja terhadap komposisi dan menemukan objek maupun merekam momen-momen tertentu dalam jepretan.

Jadi, ketika saya mendapat kesempatan untuk meniliki kamera analog buatan Jepang yang terpampang dengan harga yang tak akan pernah dapat saya temui di Indonesia, saya merasa girang dan sepatah-patah mengobrol dengan sang Oji-san dengan bahasa isyarat. Tapi saya tak seimpulsif untuk langsung membeli kamera di hadapan saya. Saya berjanji pada diri saya sendiri ketika pulang di hari itu. Lain waktu ketika pasar loak terakhir yang dapat saya datangi, saya akan membeli sebuah kamera untuk diri saya.

Sayang, ternyata saya tak menemukan Oji-san dan mobil terbukanya yang waktu itu. Saya pun sedikit kecewa. Tapi ternyata mungkin sedikit keberuntungan berpihak kepada saya. Seorang Oji-san lain menggelar terpal dan menjual kamera-kamera lama. Ada mungkin satu jam saya mencoba mengobrol dengan sang pemilik lapak yang ternyata tak dapat berbahasa Inggris, meniliki kamera-kamera yang ia peragakan kinerjanya, dan bergelut dengan kegalauan diantara dua kamera yang menarik perhatian saya. Sayang, saat saya sedang menilik kamera satu, yang satunya diambil seorang pembeli yang tiba-tiba datang dan tanpa banyak kata atau tawar menawar membayar lunas kamera itu. Hal itu yang membuat saya pun akhirnya memutuskan untuk segera membeli kamera di tangan saya.

Kamera itu produk dari Canon Jepang dengan seri AE-1 Program, cocok sekali bagi pemula seperti saya karena ada mode full-Auto yang membuat saya tak perlu mengatur apeture. Lensanya kit Canon FD 35-70mm. Dan harganya sangat luar biasa murahnya jika dibanding dengan pasaran di Indonesia. Dua ribu yen. Tetapi setelah-setelahnya, biaya untuk memperbaiki lensa, servis berkala untuk sutter dan tuas kokang, entah sudah berapa dan berkali lipat dari harga yang saya bayarkan siang itu. Oh, tentu jangan lupa mengenai masalah baterai kamera yang ternyata sulit sekali ditemui bahkan di lapak maya manapun.

Tetapi ia adalah pacar pertama saya, yang telah menemani saya ke berbagai tempat dan tentu cinta yang nyatanya bertahan bertahun-tahun. Bukankah berkomitmen dengan seseorang dan sesuatu itu ya mirip seperti hubungan kami ini?

Ex-Bae. The last goodbye at Fukuoka International Airport.
15 February 2015. First roll. Fujicolor ASA 400/27 Fresh, expired at 2015.

*


Bagi yang berteman dengan saya di Facebook pasti tahu, bagaimana saya mengajaknya ke berbagai tempat dan kesempatan. Saya banyak mengunggah foto hasil jepretannya di album yang saya dedikasikan khusus untuknya.  Dan dengan melihat album itu, tak ada yang bisa mengelak bagaimana ia begitu setia menemani saya. Dan saya pun juga begitu sabar manakala ia sedikit rewel karena perlu servis atau penggantian spare-part yang susah sekali ditemukan kecuali melakukan kanibalisasi terhadap kamera yang sama. Saya rasa seperti itulah seseorang tak dapat dengan mudah beranjak dari cinta dan pacar pertama. Berkali-kali teman saya bilang agar saya berganti kamera saja jika ia begitu rewel dan sudah merawatnya. Tetapi, teman saya itu tak tahu sentimen dan melankoli yang saya rasakan acap kali mencari penggantinya. Saya mungkin selamanya tak siap.

When he decided to marry someone else, you just wanted to talk to the ocean about your sorrow. Glagah Harbour.
29 April 2015. Fujifilm ASA 200/36 Expired 2013. Developed at ASA 800.

On one fine day, I found Sumbing in this Vista. Somewhere near Menoreh.
Date unknown. Fujifilm ASA 200/36 Expired 2014. Developed at ASA 800.

Just you ordinary grandpa antiquities. Fleamarket in the Semarang Old Town.
6 December 2016. Agfa Vista Photoplush 200/36 Fresh, expired 2020
The boy next door. Afternoon Lunch Party in the middle of Shih'er Liao Lake.
1 May 2018. Fujifilm Superia Premium ASA 400/27 Fresh, Expired 2020. set in ASA 100. Developed at ASA 400

Take me to the Tropical Island. A collection from the Odyssey to Gili Iyang, Madura.
3 July 2018. Agfa Vista Asa 200/36 Fresh, expired 2019
Ijen in the dusk. Bulb mode, manual aperture setting, and unconscious hand-shaking.
6 July 2018. Fuji C200 ASA 200/36 Fresh, Expired 2019

*


Baru-baru ini saya bepergian ke Malaka dan membawanya bersama saya. Saya menyimpan 4 roll film yang saya siapkan dari jauh-jauh hari. Bagi saya, cuaca yang sangat cerah di bandaraya itu membuat saya tanpa banyak pikir mengabadikan berbagai sudut kota tuanya. Tapi saya cukup berhati-hati mengatur rana dan bukaan agar hasil jepretan saya tidak overly-exposed karena teriknya matahari. Apalagi ketika secara acak, seorang wisatawan kaukasia memuji kamera yang saya pakai. Saya luar biasa senang dan bangga kepada kamera saya. Tak banyak lagi yang meminati analog fotografi dengan segala kecanggihan menyimpan data.

Pulang-pulang membawa 3 roll yang telah terpakai, dengan semangat saya membawanya ke langganan saya memproses negatif, Central Jalan Solo. Sayang, dua roll film terakhir tak menghasilkan ingatan-ingatan perjalanan yang serta merta sengaja saya kurasi. Lemas sekali saya kala itu ketika XiaoKoko Central mengecek kamera saya dua hari setelahnya dan memvonis bahwa shutter speednya tidak bekerja secara normal lagi. Ia angkat tangan dengan nasib kamera saya itu dengan alasan bahwa penyakit klasik AE-1 terletak pada mesinnya yang automatic dan itu berarti harus mengganti satu perangkat lunak di dalam kamera yang harus mengkanibalkan kamera yang sama untuk memperbaikinya. Harga kamera AE-1 terakhir saya cek adalah sekitar satu setengah juta di platform lapak jualan maya. Membayangkan harus membayar sejumlah uang tersebut, XiaoKoko pun menyarankan saya untuk merelakan saja kamera itu.

Gusar dan patah hati, saya pulang sembari mengutuki nasib kamera saya.

The old China Town beyond the canal. Bandaraya Melaka.
7 March 2019. Agfa APX 100/36 Fresh, Expired 2020

Morning Stroll. Jonker Walk, Melaka China Town
8 March 2019. Agfa APX 100/36 Fresh, Expired 2020

*

Dalam ingatan saya, saya jarang sekali mau difoto, apalagi dengan kamera saya yang satu ini. Lebih karena saya tidak yakin terhadap orang yang ada di belakang lensa itu dapat menggunakan AE-1 Analog atau tidak. Dalam ratusan frame foto yang telah saya ambil, hanya beberapa saja terdapat foto saya. Satu dijepret oleh teman saya yang hasilnya begitu out of focus, yang tiga saya setting dengan timer saat saya di Taiwan, dan dua yang terakhir dalam roll yang tak berhasil diproses ketika kamera saya dinyatakan rusak.

Entah apa yang menggerakkan saya hari itu untuk membuat self-portrait. Mungkin karena dorongan 3 shoot terakhir agar saya dapat mengirim roll terakhir itu ke Central untuk diproses. Mungkin juga hanya firasat bawah sadar bahwa frame itu akan jadi yang terakhir. Saya agak senang mendapati 2 frame terakhir dari roll yang tak berhasil di-scan itu kembali kepada saya dengan sembersit bayangan foto portrait yang saya ambil. Dengan berbekal kamera digital pinjaman dan tutorial di You-tube mengenai memproses film negatif DIY, saya pun iseng saja. Dan hasilnya tidak terlalu mengecewakan.

Dan inilah, frame terakhir yang ditangkap oleh AE-1 dari total 33 frame yang tak menangkap apapun.

Self Portrait. Blur and under-exposed.
Date unknown. Ilford FP4 Plus ASA 125/36 Fresh, Expired 2020

*


Saya tahu mungkin saya tak bisa lagi mengajak AE-1 saya dalam perjalanan-perjalanan mendatang. Tapi saya ingin yakin kepada diri saya, bahwa suatu ketika, dalam perjalanan-perjalanan itu saya dapat menemui cara untuk dapat memperbaikinya.

[ ]




No comments:

Post a Comment