"karena ada sesuatu yang pasti terlewatkan dan terlupakan pada pertemuan pertama, dan karena pada pertemuan kedua takdir dipertemukan."- MMF, 2013
*
Aku menatap pendar cahaya lampu belakang motor-motor yang
menyalip mobil kami acuh tak acuh. Jendela mobil di sampingku bertopang dagu
sedikit berembun karena udara malam ini yang sedikit lebih dingin dari
biasanya. November akhir, tapi hujan masih saja belum turun dengan ajeg. Kebetulan malam ini langit cerah
sedikit berawan memantulkan sinar kota. Si sopir yang memaksaku ikut dengannya
malam ini tengah sibuk bercerita tentang pembukaan pameran yang hendak kami
datangi, disela-sela sebuah lagu indie
berjudul Perjumpaan - Mr. Sonjaya yang diputar dari radio lokal.
“Shifa, kok kamu diem aja sih? Kamu kan udah menyanggupi mau
nemenin aku datang ke pameran seni rupa-nya temenku malam ini!.” Protesnya dengan
nada merajuk.
“Iya, iya. Aku tahu.” Jawabku mengalah.
Sebenarnya aku agak enggan datang ke acara semacam ini. Aku
merasa tak nyaman berada di antara orang-orang yang tak kukenal di sebuah
tempat yang tak kukenal pula. Tapi ia merajuk minta ditemani datang karena malu
datang sendirian, dan aku tak punya alibi untuk menolaknya. Jadi, di sini lah
aku, duduk di kursi depan di samping supir, menatap jalanan yang cukup lengang
di akhir pekan, sambil mendengarkannya berceloteh mengenai pameran ini.
Ah, satu lagi, aku tak bisa memahami apa yang dipikirkan
oleh seniman jaman sekarang. Karya-karya seni yang mereka hasilkan terlalu abstrak,
terlalu sulit untuk dinikmati oleh orang awam. Niatnya mau sok-sok-an keren,
memikat orang lewat pemikiran yang dalam, jero
banget kalau istilah dalam bahasa jawa, memakai mix-media yang sifatnya kontemporer, atau pamer skill dan teknik gambar. Tapi kadang
lupa, orang awam sepertiku akan susah menangkap maksud dari karya itu. Padahal,
bukankah seni adalah media aspirasi karya cipta karsa dari si seniman? Ah, tau
apa aku tentang seni? Orang awam sepertiku, memang tak tahu apa-apa.
Setibanya di tempat pameran, parkir ramai dipenuli sepeda
motor dan mobil. Kami buru-buru keluar dari mobil.
“Aduh, telat nih kita! Pembukaannya pasti sudah dimulai
setengah jam lalu.” Katanya sedikit panik sambil berlari-lari kecil
meninggalkanku agak ke belakang. Aku hanya mendengus geli karena salahnya
sendiri lama berdandan di depan kaca. Aku melirik jam tanganku. Pukul 7 kurang
seperempat.
Seperti yang kuduga, pameran ini ramai. Ramai sekali oleh
anak-anak muda dengan dandanan yang, mulai dari yang paling biasa hingga yang
paling nyentrik. Risa menarikku ke arah rombongan yang beberapa orang
diantaranya aku kenal, teman-temannya. Seorang laki-laki tinggi kurus berkulit
gelap dengan senyum yang manis dan rambut hitam lurus agak gondrong , tipikal
anak ISI semester akhir, memperlihatkan mata yang berbinar ketika Risa
menyapanya.
“Hai, bang! Selamat ya atas pamerannya!” ujar Risa
kepadanya. Keduanya berjabat tangan erat sekali.
Teman-teman Risa menepuk pundaknya ketika kami bergabung
dalang rombongan kecil itu. Ruangan seluas setengah lapangan sepak bola yang
disekat-sekat sesuai kebutuhan pameran penuh oleh orang. Beberapa bergerombol
di depan karya. Beberapa sendirian sambil memotret sana sini. Suara mereka dipadu
langkah-langkah kaki seperti dengungan lebah, membuatku mengernyit tak suka. Teman-teman
Risa yang beberapa kali kulihat main ke kosan kami mengendik sambil tersenyum
kepadaku. Yang tentu saja, kubalas seadanya.
Laki-laki yang dipanggil Risa, abang itu, tertawa
memperlihatkan deretan gigi yang rapi. Entah mengapa tawanya itu membuatku
sebal. Lalu ia dan Risa tenggelam dalam obrolan yang tak kumengerti. Setelah pamit
kepada gerombolan itu, aku beringsut ke sudut ruang pameran yang sepi oleh
pengunjung yang sudah bergerak menjauh. Sekilas saja melihat, beberapa karya
yang terpajang di dinding ruang pameran itu kulewati. Alasannya cuma satu,
terlalu rumit, terlalu kontemporer, hingga pesannya tak tersampaikan. Lalu aku
terhenti pada sebuah karya yang begitu aneh diantara lautan karya jero banget di ruang pameran ini.
Tapi lukisan di depanku ini begitu sederhana, bergaya realistis, tekniknya sungguh mengagumkan, goresan
kuasnya memiliki karakter yang tak kutemukan di karya-karya sebelumnya, dan
yang lebih penting, dapat termaknai dengan lugas.
Apel. Lukisan itu adalah lukisan tentang buah apel. Judulnya, ah ya, Sekumpulan Dosa-Dosa. Dalam sebuah
bidang kanvas, yang kira-kira berukuran 80x120cm itu, berbagai jenis apel
dengan berbagai bentuk dan warna terlukiskan dengan sangat indah dan nyata,
tapi entah mengapa aku jadi mual dan merasa ngeri sendiri. Ditengah leherku
yang meremang, tiba-tiba terdengar suara apel yang digigit.
Kraus!
Aku menoleh kaget sekaligus ngeri, tetapi aku malah mendapai
seorang laki-laki bercelana jeans belel dengan kemeja flannel merah biru
kotak-kotak bersepatu boots kulit sambil menyerempangkan tas punggung berwarna
hijau army sedang berdiri menatap
lukisan yang ada di hadapanku sambil menggigit sebuah apel hijau. Rasa-rasanya
aku pernah melihatnya entah dimana.
Tiba-tiba ia menoleh kepadaku dan kami saling terdiam sambil
bertukar tatapan. Rasa-rasanya aku bisa melihat ia juga sedang memutar
memorinya sendiri. Lalu seperti tersengat listris berarus rendah, aku ingat
sesuatu.
“Lhoh, kamu yang waktu itu, kan?” ujar kami bersamaan sambil
saling tunjuk satu sama lain.
*
Hari sedang panas-panasnya di pertengahan Juni. Dan aku
terjebak dalam sebuah antrian panjang di loket penukaran struk indomart untuk
mendapatkan tiket keretaku. Aku meruntuki dalam hati mengapa tak dari pagi saja
aku pergi ke stasiun untuk menukarkan tiketku. Tapi tadi pagi aku telalu malas
untuk keluar kos-kos-an menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai ke stasiun
hanya untuk menukarkan tiket pulang malam ini.
Antrian di depanku masih 4 orang. Entah apa yang orang di
depan loket itu lakukan hingga memakan waktu yang lama. Aku bersedekap kesal
sambil pura-pura tertarik pada jam dinding stasiun yang rasa-rasanya bergerak
lambat sekali. Sekitar lima menit berikutnya orang itu baru selesai dan antrian
maju. Cepat saja hingga aku ada di paling depan batas antrian menunggu orang di
depanku yang sepertinya hendak membatalkan tiketnya.
Orang di depanku berbalik pergi dan aku hendak maju,
tiba-tiba seorang pasangan suami istri datang terburu-buru dan berdiri di depan
loket. Aku merasa sebal dan mengetuk-ngetukkan kakiku ke lantai sambil
mengumpat dalam hati. Seseorang yang mengantri di belakangku beringsut maju ke
depanku dan membuatku memaki-makinya dalam hati. Laki-laki itu beransel tinggi
dengan kemeja franel kotak-kotak merah biru.
“Maaf, pak, bu, saya tahu mungkin anda berdua buru-buru. Tapi
tolong antri. Coba anda lihat orang-orang yang sedari tadi mengantri. Apa anda
tak tahu malu hingga menyerobot antrian?”
Aku melongo mendengar apa yang ia katakan barusan. Kupikir ia
ikut-ikutan menyerobot antrianku. Suami istri itu bermuka sebal kepada si
laki-laki itu.
“Silahkan antri. Kami semua sudah antri dari tadi.” Katanya tegas
sambil membentangkan tangannya ke arah antrian yang sebenarnya tak cukup
panjang, hanya ada 8 orang saja. Orang-orang di belakangku mulai ikut protes
mendukung kata-kata laki-laki itu. Orang-orang yang mengantri membeli tiket di
loket sebelah ikut-ikutan menoleh dan melihat apa yang sedang terjadi. Suami
istri itu terlihat malu meski mukanya kesal sekali lalu berjalan menuju antrian
paling belakang. Petugas di loket terlihat mengernyit tak mengerti.
Ketika ia hendak kembali ke antriannya, pandangan kami
bertemu. Matanya yang hitam menatapku dengan tegas. Rambutnya yang terpotong
rapi menyentuh telinganya. Aku mengendik kepadanya dan dibalas dengan sebuah
gerakan memintaku untuk maju ke depan loket.
Setelah selesai menukarkan tiket itu, aku berbalik dan
mendapatinya mengantri setelahku. Sejenak aku tercekat di tempat lalu menelan
ludah susah payah.
“Terimakasih.” Kataku lirih. Hanya kami berdua yang dapat
mendengarnya.
Ia tersenyum dan mengangguk kepadaku. Lalu aku buru-buru
berjalan keluar antrian, menuju parkiran.
Hei, aku tak benci
dengan senyumannya itu.
*
Apakah kau percaya bahwa
kebetulan-kebetulan yang terjadi
beruntutan hanyalah kebetulan belaka? Kadang kita tak pernah sadar, diantara
kebetulan-kebetulan yang terjadi, takdir sedang berusaha untuk merampungkan
cerita yang tertunda.
[ ]
Sebuah fiksi diantara pembukaan pameran seni Pertemuan Kedua yang diselenggarakan di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
aku suka ini! :3
ReplyDelete