Sudah sore, jalanan padat kendaraan motor dan mobil. Udara begitu panas dan kering. Rasanya gerah, sampai-sampai aspal pun meleleh ke udara. Mobil-mobil mengantri tak teratur. Motor-motor main selip sana sini masuk ke sela-sela sempit. Persimpangan itu padat, padat sekali, sampai-sampai ia tak dapat masuk ke sela-sela yang tersisa. Ia berdecak agak kesal. Ruas jalan itu memang selalu padat di jam-jam berangkat dan pulang kantor. Ia agak menyesal juga memilih lewat jalan itu padahal sudah tahu persimpangan di depan sana membuat macet. Teman yang membonceng di belakangnya diam saja, autis dengan HP-nya yang begitu pintar.
Ia menatap jam tangannya sambil gelisah. Di kanan
kirinya, ia mendapati orang-orang bermuka masam tak sabaran, sudah capek di
tempat kerjaan, ingin segera pulang ke rumah. Dari belakang ada motor yang
nekat mlipir naik ke trotoar untuk
maju ke depan persimpangan. Seorang pejalan kaki buta terpekik hampir
terserempet pengendara yang nekad itu. Bukannya minta maaf tapi pengendara itu
malah mengumpat tak sopan. Ia bergerak-gerak tak sabar di motornya, teman yang
memboncengnya masih anteng.
Suara music mancanegara sayup-sayup terdengar dari
mobil di samping depannya. Ia mengernyit melihat plat nomor B dengan tahun
kadaluarsa 2018. Di dalam mobil itu ada seorang anak kurus berkacamata berkulit
pucat dengan kedua tangan yang penuh, tangan kanan memegang iPhone, yang tangan
kiri memegang iPad, sebuah games bernama Fruit Ninja sedang ter-pause karena si pemilik sedang membalas
Whats App. Ia berdecak lagi. Jengkel. Temannya masih saja tak ngeh, duduk di belakang sibuk dalam
dunianya sendiri.
Antrian itu mulai bergerak sedikit tapi baru 3 meter
ia berhenti lagi. Mobil di depannya berhenti mendadak. Tiba-tiba, seperti
sebuah koor diberi aba-aba satu dua tiga, dimulai dari antrian paling depan
terdengar ribut. Klakson motor dan mobil bersahut-sahutan. Ia jengkel ketika
mobil dan motor di belakangnya ikut bermain klakson. Ia pusing dalam koor itu.
Karena jengkel, ia berdiri dan melongok apa yang mengaba-aba koor klakson di
hari yang panas ini.
Di depan sana, di persimpangan itu, semua mobil dari
keempat arah bertemu, seperti sebuah anyaman. Seorang polisi dengan perut
buncit sibuk mengabani agar simpul bolah
undet itu sedikit terurai. Polisi itu hanya sendirian saja. Sesekali
terlihat mengelap keringat dengan saputangan yang ia masukkan kembali ke
sakunya setelah memakainya. Dua orang teman polisi itu duduk-duduk saja
berteduh di sebuah emperan pos polisi yang ada di pojok perempatan itu, ngisis dibawah lindungan pohon kersen
yang tak berbuah.
“Sejak kapan jalan Kaliurang jadi kaya jalan
Sudirman! Baru juga kutinggal 2 bulan magang ke Bali, makin parah saja!”
gerutunya.
Temannya bergerak di belakangnya. “Lhoh kamu nggak
tahu?”
Ia menoleh. “Hah?”
“Kan akibat Sekutu yang datang kembali mengagresi sector
ekonomi nusantara sehingga mengancam NKRI, ‘si Karno dan Hatta’ naik kereta api
luar biasa dan ibukota jadi dipindahkan ke Jogja!”
[ ]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
tapi bukannya ibukota adalah ibu dari para kota, dan ibu merupakan habitat termudah untuk anak mempelajari perjalanannya, hingga akhirnya semua adalah serupa?
ReplyDeletetelepas dari pernyataanmu mas,
Deletesakjane meh ngomong wajah kota jogja sekarang saru dengan jakarta. aku ngritik lalu lintasnya sih. pengalam pribadi terjebak macet simpang anyam undet di perempatan *piiiiiiiiiip (sensor)
aku setuju dengan pernyataanmu mengenai ibukota. aku jadi pengen nulis kan. sesuk jawabane neng postinganku selanjutnya ya